Kamis, 30 September 2010

Profil Luluk SAP

Luluk Sri Agus Prasetyoningsih yang terlahir di Tulungagung ini menyelesaikan pendidikan S1 dan S2 di IKIP Malang (sekarang Universitas Negeri Malang) bidang studi Pendidikan Bahasa Indonesia. Sosok muslimah yang menjadi dosen di Univesitas Islam Malang sejak lulus S1 sampai sekarang ini terbiasa  mengampu matakuliah Linguistik Umum, Teori Belajar Bahasa, Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Problematik Bahasa, Analisis Kesalahan Bahasa, dan Penulisan Kreatif Sastra.
Di bidang penelitian, ia melakukan serangkain penelitian yang dikemas dalam artikel bertopik berikut.
1.   “Model Pengembangan Life Skill” Dalam Wahana Sekolah Dasar ISSN 0854-8293, Tahun 13 N0.2 juli 2005 Halaman 114-120.
2.   Perbaikan Kualitas Pembelajaran dengan Pemanfaatan Sumber Belajar Praktisi Jurnalistik” Dalam Pendidikan dan Pembelajaran ISSN: 0215-9341. Tahun 18, No.2 Agustus 2005. Halaman 65-77
3.   Judul “Profil Pendidikan Kecakapan Hidup di SLTP Kabupaten Banjar Kalimantan Selatan”. Dalam BUANA ISSN: 0854-5464 Edisi XXIX Halaman 43-53 Juli 2006, Halaman 158-181
4.   Pengembangan Panduan Menulis untuk Publikasi Ilmiah Bagi Guru-Guru di Lingkungan Dinas Pendidikan“ Dalam Wahana Sekolah Dasar, ISSN 0854-8293, Tahun 13 N0.2 Juli 2005 Halaman 114-120.
5.   “Pembelajaran Praktik Jurnalistik Berbasis Kewirausahaan” Dalam Cakrawala Pendidikan ISSN 1410-9883 Vo.8 No2 Oktober 2006 Halaman 165-175
6.   Penyusunan KTSP dan Pengembangannya”  Dalam Wahana Sekolah Dasar, ISSN 0854-8293, Tahun 15 N0.1 Januari 2007 Halaman 65 – 76.
7.   “Penguasaan Bahasa Pada Anak Autis dan Pemanfaatan Media Pembelajarannya” Dalam Wahana Sekolah Dasar, ISSN 0854-8293, Tahun 15 N0.2 Juli 2007 Halaman 145-155
8.   “Model KTSP dan Kesiapan Implementasinyanya di Madrasah Terpadu Kota Malang“ Dalam Wahana Sekolah Dasar, ISSN 0854-8293, Tahun 16 N0.1 Januari 2008 Halaman 75-88.
Di bidang pengabdian masyarakat, ia telah melakukan serangkaian kegiatan berikut.
1.    Pengembangan Budaya Kewirausahaan Mahasiswa Melalui Pengelolaan Usaha Cetak Jurnalistik, 2005.
2.    Pembinaan Usaha Kecil dan Menengah Kota, Kabupaten Malang dan Kabupaten Blitar. Makalah Disampaikan pada DKLAT UKM Kerjasama LPPM UNISMA dengan Perum BUMN JasaTirta I, 2005.
3.    Pembinaan Usaha Kecil Menengah   Kota, Kabupaten Malang dan Kabupaten Blitar. DIKLAT UKM kerjasama LPPM UNISMA dengan Perum BUMN Jasa Tirta I, 2006.
4.    Pengembangan Budaya Kewirausahaan Mahasiswa Melalui Pengelolaan Usaha Foto-Grafis Media Cetak, 2006.
5.    Pengembangan Budaya Kewirausahaan Mahasiswa Melalui Pengelolaan Usaha Cetak Sablon (Screen Printing) Media Cetak, 2007.
6.    Pembinaan Usaha Kecil  Kota, Kabupaten Malang dan Kabupaten Blitar. DIKLAT UKM kerjasama LPPM UNISMA dengan Perum BUMN Jasa Tirta I, 2007.
7.    Pengembangan Budaya Kewirausahaan Mahasiswa Melalui Pengelolaan Usaha Cetak., 2007.
8.    Pembinaan Usaha Kecil  Kota, Kabupaten Malang dan Kabupaten Blitar. DIKLAT UKM kerjasama LPPM UNISMA dengan Perum BUMN Jasa Tirta I,  2008.

Minggu, 26 September 2010

Pendidikan Karakter: Apa, Mengapa, dan Bagaimana

Oleh Masnur Muslich

Dalam acara temu wicara siswa SMK/SMA se-Bekasi di SMA negeri 1 Bekasi, Men­diknas Muhammad Nuh menegaskan bahwa pendidikan karakter itu ibarat basis bilangan dalam matematika. "Berusahalah bagaimana mengubah dari angka 1/2 menjadi 2," ung­kap­nya lebih lanjut. Bagaimana caranya? "Angkat setengah (1/2) jika dipangkatkan dengan angka yang semakin besar, maka hasilnya makin kecil. Sebaliknya, jika angka 2 dipangkat­kan, semakin besar pangkat maka semakin besar juga hasilnya," ungkap Nuh. Hal itu me­nan­dakan bahwa yang perlu ditingkatkan bukan pangkatnya, melainkan basis bilangannya. Menurutnya, hal itu sama dengan filosofi hidup dalam men­capai kesuksesan. "Jadi, anak-anakku yang perlu ditingkatkan bukan pangkatnya, tapi basis bilangan, yakni karakter pri­ba­dinya," lanjut Nuh lebih lanjut (Media Indonesia, Jumat, 19/3/2010).
Mendiknas mengingatkan pentingnya pengembangan karakter pribadi sebagai ba­sis untuk mencapai sukses. Meski dianggap penting dan sering didengungkan, sampai seka­rang tidak ada wujud nyata berupa kebijakan dalam dunia pendidikan berkaitan dengan pendidikan karakter. Kita tentu sepakat dengan Mendiknas bahwa pendidikan karakter itu perlu. Tapi pertanyaannya, lalu apa? Bagaimana tindak lanjutnya?
Apa hakikat karakter?
Menurut Simon Philips dalam Buku Refleksi Karakter Bangsa (2008:235), karak­ter adalah kumpulan tata nilai yang menuju pada suatu sistem, yang melandasi pemikiran, sikap, dan perilaku yang ditampilkan. Sementara itu, Koesoema A (2007:80) menyatakan bahwa ka­rakter sama dengan kepribadian. Kepribadian dianggap sebagai ”ciri atau karakteristik atau gaya atau sifat khas dari diri seseorang yang bersumber dari bentukan-bentukan yang dite­rima dari lingkungan, misalnya keluarga pada masa kecil dan juga bawaan seseorang sejak lahir.” Prof. Suyanto, Ph.D menyatakan bahwa karakter adalah cara berpikir dan berperi­laku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerjasama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Individu yang berkarakter baik adalah individu yang bisa membuat keputusan dan siap mempertanggungjawabkan tiap akibat dari kepu­tus­an yang ia buat. Imam Ghozali menganggap bahwa karakter lebih dekat dengan akhlak, yaitu spontanitas manusia dalam bersikap, atau perbuatan yang telah menyatu dalam diri manusia sehingga ketika muncul tidak perlu dipikirkan lagi. Dengan demikian, karakter bang­sa sebagai kondisi watak yang merupakan identitas bangsa.
Winnie (yang juga dipahami oleh Ratna Megawangi, 2007) menyampaikan bahwa istilah karakter diambil dari bahasa Yunani yang berarti ‘to mark’ (menandai). Istilah ini lebih fo­kus pada tindakan atau tingkah laku. Ada dua pengertian tentang karakter. Pertama, ia me­nunjukkan bagaimana seseorang bertingkah laku. Apabila seseorang berperilaku tidak jujur, kejam, atau rakus, tentulah orang tersebut memanifestasikan perilaku buruk. Seba­liknya, apabila seseorang berperilaku jujur, suka menolong, tentulah orang tersebut memanifesta­si­kan karakter mulia. Kedua, istilah karakter erat kaitannya dengan ‘personality’. Sese­orang baru bisa disebut ‘orang yang berkarakter’ (a person of character) apabila ting­kah lakunya sesuai kaidah moral. Sementara itu, definisi karakter menurut Victoria Neufeld & David B. Guralnik (dalam Raka, 2007) adalah ‘distinctive trait, distinctive quality, moral strength, the pattern of behavior found in an individual or group’. Kamus Besar Bahasa Indonesia belum memasukkan kata karakter, yang ada adalah kata ‘watak’ yang diartikan sebagai sifat batin manusia yang mempengaruhi segenap pikiran dan tingkah laku; budi pekerti; tabiat.
Dari berbagai pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa karakter itu berkait­an dengan kekuatan moral, berkonotasi ‘positif’, bukan netral. Jadi, ‘orang berkarakter’ adalah orang yang mempunyai kualitas moral (tertentu) positif. Dengan demikian, pen­didikan ada­lah membangun karakter, yang secara implisit mengandung arti memba­ngun sifat atau po­la perilaku yang didasari atau berkaitan dengan dimensi moral yang positif atau yang baik, bukan yang negatif atau yang buruk. Hal ini didukung oleh Peter­son dan Seligman (Raka, 2007:5) yang mengaitkan secara langsung ’character strength’ dengan kebajikan. Character strength dipandang sebagai unsur-unsur psikologis yang membangun kebajikan (virtues). Salah satu kriteria utama dari ‘character strength’ adalah karakter tersebut berkontribusi besar dalam mewujudkan sepenuhnya potensi dan cita-cita seseorang dalam membangun kehidupan yang baik, yang bermanfaat bagi dirinya dan bagi orang lain.
Menurut Prof. Wuryadi, sebenarnya pembangunan karakter bangsa mulai diku­man­dangkan sejak awal negara ini lahir. Tetapi, program ini belum selesai karena banyak pihak-pihak yang merasa dirugikan. Indonesia dengan kekayaan alamnya akan sulit dikuasai manakala bangsanya memiliki karakter yang kuat. Oleh karena itu, kon­disi bangsa kita di­buat semakin tajam krisis karakternya. Menurut Raka (2007), krisis karakter bangsa kita disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut:
a.      Terlampau terlena oleh Sumber Daya Alam yang melimpah.
b.      Pembangunan ekonomi yang terlalu bertumpu pada modal fisik.
c.       Surutnya idealisme, berkembangnya pragmatisme ‘overdoses’.
d.      Kurang berhasil belajar dari pengalaman bangsa sendiri
Selain memperkecil resiko kehancuran, karakter juga menjadi modal yang sa­ngat penting untuk bersaing dan bekerja sama secara tangguh dan terhormat di te­ngah-tengah bangsa lain. Karakterlah yang membuat bangsa Jepang cepat bangkit sesudah kekalahan­nya dalam Perang Dunia II dan meraih kembali martabatnya di dunia internasional. Karak­terlah yang membuat bangsa Vietnam tidak bisa ditaklukkan, bahkan mengalahkan dua bang­sa yang secara teknologi dan ekonomi jauh lebih maju, yaitu Perancis dan Amerika. Pembangunan karakterlah yang membuat Korea Selatan sekarang jauh lebih maju dari In­do­­nesia, walaupun pada tahun 1962 keadaan kedua negara secara ekonomi dan tekno­logi hampir sama. Pembangunan karakterlah yang membuat para pejuang kemerdekaan berha­sil menghantar bangsa Indonesia ke ger­bang kemerdekaannya (Raka, 1997).
Ada apa dengan pendidikan karakter?
Indonesia saat ini sedang menghadapi dua tantangan besar, yaitu desentralisasi atau otonomi daerah yang saat ini sudah dimulai, dan era globalisasi total yang akan terjadi pada tahun 2020. Kedua tantangan tersebut merupakan ujian berat yang harus dilalui dan dipersiapkan oleh seluruh bangsa Indonesia. Kunci sukses dalam menghadapi tantangan berat itu terletak pada kualitas sumberdaya manusia (SDM) Indonesia yang handal dan ber­budaya. Oleh karena itu, peningkatan kualitas SDM sejak dini merupakan hal penting yang harus dipikirkan secara sungguh-sungguh.
Karakter bangsa merupakan aspek penting dari kualitas SDM karena kualitas ka­rak­­ter bangsa menentukan kemajuan suatu bangsa. Karakter yang berkualitas perlu diben­uk dan dibina sejak usia dini. Usia dini merupakan masa kritis bagi pembentukan karakter seseorang. Menurut Freud kegagalan penanaman kepribadian yang baik di usia dini ini akan membentuk pribadi yang bermasalah di masa dewasanya kelak. Kesuksesan orang tua membimbing anaknya dalam mengatasi konflik kepribadian di usia dini sangat menentukan kesuksesan anak dalam kehidupan sosial di masa dewasanya kelak (Erikson, 1968).
Thomas Lickona (1991) – seorang profesor pendidikan dari Cortland University – meng­ungkapkan bahwa ada sepuluh tanda-tanda zaman yang harus diwaspadai karena jika tan­da-tanda ini sudah ada, berarti sebuah bangsa sedang menuju jurang kehancur­an. Tanda-tanda yang dimaksud adalah (1) meningkatnya kekerasan di kalangan remaja, (2) peng­gu­naan bahasa dan kata-kata yang memburuk, (3) pengaruh peer-group yang kuat dalam tin­dak kekerasan, (4) meningkatnya perilaku merusak diri, seperti pengguna­an narkoba, alko­hol dan seks bebas. (5) semakin kaburnya pedoman moral baik dan buruk, (6) menurunnya etos kerja, (7) semakin rendahnya rasa hormat kepada orang tua dan guru, (8) rendahnya rasa tanggung jawab individu dan warga negara, (9) membuda­yanya ketidakjujuran, dan (10) adanya rasa saling curiga dan kebencian di antara sesa­ma. Jika dicermati, ternyata kesepuluh tanda zaman tersebut sudah ada di Indonesia.
Selain sepuluh tanda-tanda zaman tersebut, masalah lain yang tengah dihadapi oleh bangsa Indonesia adalah sistem pendidikan dini yang ada sekarang ini terlalu berori­entasi pada pengembangan otak kiri (kognitif) dan kurang memperhatikan pengem­bangan otak kanan (afektif, empati, dan rasa). Padahal, pengembangan karakter lebih berkaitan dengan optimalisasi fungsi otak kanan. Mata pelajaran yang berkaitan dengan pendidikan karakter pun (seperti budi pekerti dan agama) ternyata pada praktiknya lebih menekankan pada aspek otak kiri (hafalan, atau hanya sekedar “tahu”).
Pada sisi lain, pembentukan karakter harus dilakukan secara sistematis dan ber­kesinambungan yang melibatkan aspek knowledge, feeling, loving, dan acting”. Pemben­tukan karakter dapat diibaratkan sebagai pembentukan seseorang menjadi body builder (binaragawan) yang memerlukan “latihan otot-otot akhlak” secara terus-mener­us agar men­jadi kokoh dan kuat. Sebab, pada dasarnya, anak yang berkarakter rendah adalah anak yang tingkat perkembangan emosi-sosialnya rendah, sehingga anak beresi­ko atau berpo­ten­­si besar mengalami kesulitan dalam belajar, berinteraksi sosial, dan tidak mampu me­ngontrol diri. Mengingat pentingnya penanaman karakter di usia dini dan mengingat usia prasekolah merupakan masa persiapan untuk sekolah yang sesung­guhnya, maka penanam­an karakter yang baik di usia prasekolah merupakan hal yang sangat penting untuk dilaku­kan.
Thomas Lickona (1991) mendefinisikan orang yang berkarakter sebagai sifat alami seseorang dalam merespons situasi secara bermoral, yang dimanifestasikan dalam tindak­an nyata melalui tingkah laku yang baik, jujur, bertanggung jawab, menghormati orang lain dan karakter mulia lainnya. Pengertian ini mirip dengan apa yang diungkap­kan oleh Aristo­teles bahwa karakter itu erat kaitannya dengan habit atau kebiasaan yang terus-menerus dilakukan.
Menurut Berkowitz (1998), kebiasaan berbuat baik tidak selalu menjamin bah­wa manusia yang telah terbiasa tersebut secara sadar (cognition) menghargai penting­nya nilai-nilai karakter (valuing). Misalnya, seseorang yang terbiasa berkata jujur karena takut men­da­patkan hukuman, maka bisa saja ia tidak mengerti akan tingginya nilai mo­ral dari kejujur­an itu sendiri. Oleh karena itu, pendidikan karakter memerlukan juga aspek emosi. Menu­rut Lickona (1991), komponen ini disebut “desiring the good” atau keinginan untuk berbuat baik.
Bagaimana Pendidikan Karakter di Negara Lain?
Hill (2002) menngatakan, “Character determines someone’s private thoughts and someone’s actions done. Good character is the inward motivation to do what is right, accor­ding to the highest standard of behaviour, in every situation”. Pendidikan karakter meng­ajar­kan kebiasaan cara berpikir dan perilaku yang membantu individu untuk hidup dan be­kerja bersama sebagai keluarga, masyarakat, dan bernegara dan membantu mereka untuk membuat keputusan yang dapat dipertanggungjawabkan.
Terkait dengan itu, sebagaimana yang disitir oleh Character Counts! Coalition (a project of The Joseph Institute of Ethics), ada enam pilar pilar kerakter (The Six Pillars of Character) yang dapat  menjadi acuan. Enam pilar  karakter yang dimaksud adalah seba­gai berikut:
a.      Trustworthiness, bentuk karakter yang membuat seseorang menjadi berintegri­tas, jujur, dan loyal
b.      Fairness, bentuk karakter yang membuat seseorang memiliki pemikiran terbuka ser­ta tidak suka memanfaatkan orang lain.
c.       Caring, bentuk karakter yang membuat seseorang memiliki sikap peduli dan perha­tian terhadap orang lain maupun kondisi sosial lingkungan sekitar.
d.      Respect, bentuk karakter yang membuat seseorang selalu menghargai dan meng­ormati orang lain.
e.      Citizenship, bentuk karakter yang membuat seseorang sadar hukum dan peratur­an serta peduli terhadap lingkungan alam.
f.        Responsibility, bentuk karakter yang membuat seseorang bertanggung jawab, disi­plin, dan selalu melakukan sesuatu dengan sebaik mungkin.
Begitu pentingnya pendidikan karakter, di negara-negara lain pendidikan karak­ter menjadi skala prioritas. Sumber yang ada menunjukkan bahwa pendidikan karakter di be­be­rapa negara dimulai sejak pendidikan dasar (elementary school), seperti di Ame­rika Se­rikat, Jepang, Cina, dan Korea. Apakah ada bukti bahwa implementasi pendidikan karakter yang tersusun secara sistematis betul-betul memiliki efek positif dalam penca­paian akade­mis? Jawabannya, “Ya, ada”. Berikut ini ditunjukkan abstrak dari beberapa studi hasil pen­didikan karakter di Amerika dan Cina.
Pemerintah Amerika sangat mendukung program pendidikan karakter yang dite­rapkan sejak pendidikan dasar. Hal ini terlihat pada kebijakan pendidikan tiap-tiap negara bagian yang memberikan porsi cukup besar dalam perancangan dan pelaksanaan pendidik­an karakter. Hal ini bisa terlihat pada banyaknya sumber pendidikan karakter di Amerika yang bisa diperoleh. Sebagian besar program-program dalam kurikulum pendi­dikan karak­ter tersebut menekankan pada experiental study sebagai sarana pengembangan karakter siswa.
The Monk Study, misalnya, dalam penelitian Mr. Doug Monk dari Kingwood Mid­dle School di Humble, Texas, membandingkan evaluasi para guru terhadap siswa sebelum dan sesudah pengimplementasian kurikulum Lessons in Character. Dalam kurikulum yang lebih banyak mengajak siswa untuk berinteraksi dalam kegiatan-kegiatan sosial dan me­ngem­bangkan kepekaan mereka, telah memberikan dampak positif dalam perubahan cara belajar, kepedulian, dan rasa hormat terhadap para staf sekolah, dan meningkatnya keterli­batan para murid secara sukarela dalam proyek-proyek kemanusiaan (Brooks, 2005).
Di negara Cina, dalam program reformasi pendidikan yang diinginkan oleh Deng Xiaoping pada tahun 1985, secara eksplisit diungkapkan tentang pentingnya pendidikan karakter sebagai berikut.
Throughout the reform of the education system, it is imperative to bear in mind that reform is for the fundamental purpose of turning every citizen into a man or woman of character and cultivating more constructive members of society (Li, 2005).
Karena itu, program pendidikan karakter telah menjadi kegiatan yang menonjol di Cina yang dijalankan sejak jenjang prasekolah sampai universitas.
Li Lanqing, seorang politikus dan birokrat Cina yang mempunyai pemahaman yang komprehensif dan mendalam tentang pendidikan menekankan tentang bahayanya sistem pendidikan yang terlalu menekankan hapalan, drilling, dan cara mengajar yang kaku, ter­ma­suk sistem pendidikan yang berorientasi hanya untuk lulus dalam ujian. Sebagai hasil­nya, Cina yang relatif baru bangkit dari keterpurukan ekonomi, sosial, dan budaya akibat Revolusi Kebudayaan yang dijalankan oleh Mao, bisa begitu cepat menge­jar ketertinggalan­nya dan menjadi negara yang maju. Presiden Jiang Zemin sendiri per­nah mengumpulkan semua anggota Politburo khusus untuk membahas bagaimana mengurangi beban pelajaran siswa melalui adopsi sistem pendidikan yang patut secara umur dan menyenangkan, dan pengembangan seluruh aspek dimensi manusia; aspek kognitif (intelektual), karakter, aes­tetika, dan fisik (atletik) (Li, 2005).

Pendidikan sebagai Medium Enkulturasi

Amich Alhumami (Peneliti Sosial, Department of Anthropology University ol Sus­ex, United Kingdom) dalam asya­rakat  adalah suatu kumpulan individu yang memiliki karakteristik khas dengan aneka ragam etnik, ras, budaya, dan agama. Setiap kelompok masyarakat mempunyai pola hidup berlainan, bah­kan orientasi dalam menjalani kehidupan pun tidak sama. Sebagai suatu unit sosial, setiap kelompok masyarakat saling berinteraksi yang memungkinkan terjadinya pertukaran buda­ya. Dalam proses interaksi itu, setiap kelompok masyarakat saling mempelajari, menyerap, dan mengadopsi budaya kelompok masyarakat lain yang kemudian melahirkan sintesis bu­daya baru. Dalam kajian antropologi, ada tiga istilah untuk menjelaskan peristiwa interaksi sosial budaya, yakni sosialisasi, akulturasi, dan enkulturasi. Ketiganya saling terkait, namun masih tetap bisa dibedakan antara satu dan yang lain.
Para ahli antropologi mengemukakanbahwa sosialisasi adalah suatu proses sosial melalui manusia sebagai suatu organisme yang hidup dengan manusia lain mem­bangun suatu jalinan sosial dan berinteraksi satu sama lain, untuk belajar memainkan peran dan menjalankan fungsi, serta mengembangkan relasi sosial di dalam masyarakat. Akulturasi adalah suatu proses perubahan budaya yang lahir melalui relasi sosial antarkelompok masyarakat, yang ditandai oleh pe­nye­­rapan dan pengadopsian suatu kebudayaan baru, yang berkon­sekuensi hilangnya ke­khasan kebudayaan lama. Sementara itu, enkulturasi adalah suatu proses sosial melalui manusia sebagai makhluk yang bernalar, punya daya refleksi dan inteligensia, belajar memahami dan mengadaptasi pola pikir, pengetahuan, dan kebuda­yaan sekelompok manusia lain.
Proses sosialisasi, akulturasi, dan enkulturasi selalu berlangsung secara dinamis. Wahana terbaik dan paling efektif untuk mengembangkan ketiga proses sosial budaya ter­sebut adalah pendidikan yang terlembaga melalui sistem persekolahan. Sekolah me­rupa­kan wahana strategis yang memungkinkan setiap anak didik, dengan latar belakang sosial budaya yang beragam, untuk saling berinteraksi di antara sesama, saling menye­rap nilai-nilai budaya yang berlainan, dan beradaptasi sosial.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sistem persekolahan adalah salah satu pilar penting yang menjadi tiang penyangga sistem sosial yang lebih besar dalam suatu tata­nan kehidupan masyarakat, untuk mewujudkan cita-cita kolektif. Maka, pendi­dikan yang diselenggarakan melalui sistem persekolahan semestinya dimaknai sebagai sebuah strategi kebudayaan, meskipun bukan hanya satu-satunya. Dalam hal ini, pendi­dikan meru­pakan medium transformasi nilai-nilai budaya, penguatan ikatan-ikatan sosi­al antarwarga masyarakat, dan pengembangan ilmu pengetahuan untuk mengukuhkan peradaban umat manusia.
Terkait dengan itu, paling tida ada tiga alasan pokok mengapa pendidikan dipan­dang tepat untuk wahana transformasi nilai-nilai budaya. Pertama, melalui pendi­dikan, ke­mampuan kognitif dan daya intelektual individu dapat ditumbuhkembangkan dengan baik. Kemampuan kognitif dan daya intelektual ini sangat penting bagi individu untuk mengenali dan memahami konsep kebudayaan suatu masyarakat yang demikian beragam, unik, dan bersifat partikular. Pengenalan dan pemahaman itu diharapkan da­pat menumbuhkan apre­siasi terhadap perbedaan budaya yang ada dalam masyarakat.
Instrumen yang relevan untuk menumbuhkan apresiasi atas keanekaragaman bu­daya, antara lain melalui mata pelajaran kesusastraan dan kesenian. Sebab, keduanya me­re­fleksikan dinamika kebudayaan dan menggambarkan kekayaan khazanah budaya dan aneka jenis kesenian di Nusantara. Di sekolah, semua siswa dapat mempelajari kesusas­teraan Melayu, kesusasteraan Jawa, kesusasteraan Bugis-Makassar, atau kesu­sasteraan daerah lain . Mereka juga dapat mempelajari kesenian Aceh, kesenian Mi­nang­kabau, kese­nian Sunda, atau kesenian daerah lain. Dengan mempelajari kesusas­teraan dan kesenian lintas etnik dan multikultur itu diharapkan dapat tumbuh kesadaran kolektif sebagai sesa­ma anak bangsa, meskipun mereka mempunyai latar belakang et­nik, budaya, dan agama yang berbeda, sehingga pada akhirnya akan memperkuat kohesi sosial dan integrasi na­sional.
Kedua, melalui sistem persekolahan setiap anak dikenalkan sejak dini mengenai pentingnya membangun tatanan hidup bermasyarakat, yang di dalamnya terdapat ber­ba­gai macam entitas sosial. Sekolah adalah miniatur masyarakat, karena di dalamnya ada struktur, status, fungsi, peran, norma, dan nilai. Sekolah menjadi sarana bagi setiap anak didik untuk belajar memainkan peran dan menjalankan fungsi menurut posisi dan status di dalam struktur sekolah itu. Dalam menjalankan peran dan fungsi, setiap anak didik juga di­ajarkan mengenai makna tanggung jawab sosial.
Dalam konteks ini, mata pelajaran yang relevan antara lain pendidikan kewar­gaan (civic education). Dengan pendidikan kevvargaan setiap anak didik dibekali penge­tahuan dan pemahaman bagaimana menjadi warga negara yang baik. Dalam filsafat pendidikan klasik dikemukakan bahwa “the ultimate goal of education is how to fn-cilitnte students to be a good citizens” Di dalam sistem persekolahan, pendidikan meru­pakan aspek yang sa­ngat penting untuk bersosialisasi dan sekaligus menjadi sarana proses transmisi norma-norma dan nilai-nilai budaya di dalam masyarakat. Pendidikan juga dapat menumbuhkan inovasi kebudayaan, karena sekolah dapat menstimulasi intellectual inquiry dan menum­buh­kan critical thinking yang menjadi basis bagi pengembangan gagasan-gagasan baru. Dalam suasana persekolah­an yang demikian, kebudayaan suatu masyarakat dapat berkembang dinamis.
Ketiga, pendidikan merupakan wahana paling efektif untuk memperkuat inte­grasi sosial politik. Para penganut paham struktural-fungsionalis meyakini bahwa melalui proses sosialisasi dan enkulturasi, pendidikan memberi kontribusi besar terhadap upaya merawat stabilitas sosial dan konsensus politik. Di dalam sistem persekolahan, pendi­dikan dapat me­rangsang tumbuhnya kesadaran sosial di kalangan anak didik. Mereka adalah bagian inte­gral sebagai warga bangsa dengan latar belakang sosial budaya yang berlainan. Di Indonesia, sa­rana paling efektif untuk memper­kuat integrasi sosial politik adalah, antara lain, melalui mata pelajaran bahasa Indonesia. Penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional merupakan warisan paling ber­harga dari para tokoh pergerakan nasional, seperti Boedi Oetomo pada zaman sebelum kemerdekaan. Karena kesadaran menjaga integrasi sosial politik itulah, maka pada Kong­res Pemuda para pelo­por gerakan nasional yang kebanyakan berasal dari suku Jawa, justru lebih memilih ba­hasa Indonesia (yang berinduk dari Bahasa Melayu), dan bukan bahasa Jawa, sebagai bahasa nasional.
Alasan-alasan yang dikemukakan tersebut sesungguhnya sejalan dengan pan­dang­an dan pemikiran para filosof sosial klasik, seperti Emile Durkheim, Jean Jacques Rousseau, Johann Pesta-lozzi, atau John Dewey. Para pemikir klasik itu bahkan menulis khusus me­nge­nai tema-tema penting di bidang pendidikan, yang kemudian menjadi rujukan standar bagi para pemikir generasi selanjutnya. Tema-tema penting itu, antara lain, mengenai pen­didikan moral, pendidikan dan tanggung jawab sosial, pendidikan dan demokrasi, pendidik­an dan pembangunan masyarakat berpengetahuan. Para pemikir klasik itu pada dasarnya meyakini bahwa pendidikan merupakan bentuk strategi kebu­dayaan yang paling efektif untuk membangun tatanan sosial dari mewujudkan masya­rakat yang baik serta memba­ngun peradaban umat manusia selaras dengan cita-cita kemanusiaan paling asasi.
Peranan Guru dalam Pendidikan Karakter
Guru adalah profesi yang mulia, mendidik dan mengajarkan pengalaman baru bagi anak didiknya. Apa yang membuat guru dikatakan hebat? Kualitas apa yang diha­rapkan pa­da diri seorang guru menurut orang tua dan siswa? Berikut adalah beberapa tips bagaima­na menjadi guru berkarakter yang hebat.
  1. Mencintai anak. Cinta yang tulus kepada anak adalah modal awal mendidik anak. Guru menerima anak didiknya apa adanya, mencintainya tanpa syarat dan mendo­rong anak untuk melakukan yang terbaik pada dirinya. Penampilan yang penuh cin­a adalah dengan senyum, sering tanpak bahagia dan menyenangkan dan pandangan hidupnya positif.
  2. Bersahabat dengan anak dan menjadi teladan bagi anak. Guru harus bisa digugu dan ditiru oleh anak. Oleh karena itu, setiap apa yang diucapkan di hadapan anak harus benar dari sisi apa saja: keilmuan, moral, agama, budaya. Cara penyampaian­nya pun harus “menyenangkan” dan beradab. Ia pun harus bersahabat dengan anak-anak tanpa ada rasa kikuk, lebih-lebih angkuh. Anak senantiasa mengamati perilaku gurunya dalam setiap kesempatan.
  3. Mencintai  pekerjaan guru. Guru yang mencintai pekerjaannya akan senantiasa bersemangat. Setiap tahun ajaran baru adalah dimulainya satu kebahagiaan dan satu tantangan baru. Guru yang hebat tidak akan merasa bosan dan terbebani. Gu­ru yang hebat akan mencintai anak didiknya satu persatu, memahami kemam­puan akademisnya, kepribadiannya, kebiasannya dan kebiasaan belajarnya.
  4. Luwes dan mudah berdaptasi dengan perubahan. Guru harus terbuka dengan tek­nik mengajar baru, membuang rasa sombong dan selalu mencari ilmu. Ketika masuk ke kelas, guru harus dengan pikiran terbuka dan tidak ragu mengevaluasi gaya meng­ajarnya sendiri, dan siap berubah jika diperlukan.
  5. Tidak pernah berhenti belajar. Dalam rangka meningkatkan profesionaitasnya, gu­ru harus selalu belajar dan belajar. Kebiasaan membaca buku sesuai dengan bidang studinya dan mengakses informasi aktual tidak boleh ditinggalkan.  
Apabila ciri-ciri tersebut dimiliki oleh guru – alih-alih disebut sebagai guru yang berkarakter, tentu keresahan di dunia pendidikan tidak akan terjadi.  Keresahan yang yang paling menonjol akhir-akhir ini adalah kekerasan guru terhadap siswa. Sekedar contoh, yang masih di ingatan kita, adalah kasus seorang guru yang menendang siswa­nya hingga gegar otak, kasus seorang guru yang memukuli satu per satu siswanya yang terlambat ma­suk kelas, dan kasus seorang guru yang menampar pipi siswanya hingga membiru hanya kerana tidak mengumulkan PR.  Mengapa demikian? Beban tugas guru yang berat, kesejah­teraan yang belum baik, dan rendahnya "kecerdasan" emosional  merupakan salah satu se­bab mengapa guru bisa berbuat khilaf dengan jalan menebar­kan aroma kekerasan di dalam kelas. Pada sisi lain, pengaruh gaya hidup TV, rendahnya perhatian orangtua terhadap kela­kuan dan sopan santun anaknya, perilaku konsumtifis­me, narkoba, minuman keras, dan pe­ri­laku ”ngoboy” lainnya, merupakan sederetan sebab mengapa para siswa zaman seka­rang juga susah di atur. Dua sisi yang sangat ekstrem dari si guru dan siswa tersebut jika berte­mu, tentu akan terjadi ketidakharmo­nis­an, bahkan benturan yang tidak menyedapkan.
Singkatnya banyak siswa yang stres dan mencoba bunuh diri, sementara yang lain mencoba membakar dan merusak gedung sekolahnya, ketika tidak lulus ujian. Tampak bah­wa dunia pendidikan di tanah air seakan tidak ramah terhadap perasaan dan nurani para siswa. Salah satu tujuan diselenggarakannya pendidikan sebagai sarana pemerdekaan dan pembebasan, hanya akan berada di “awang-awang”.
Pendidikan akhirnya hanya menghasilkan manusia cerdas namun seperti robot di satu sisi, dan manusia stres pada sisi lain. Sistem ranking, sistem penilaian, kebijakan yang tidak pernah konsisten, sistem dan proses pembelajaran yang monoton searah dan instruk­tif dari guru, menyebabkan anak-anak merasa tidak lagi "at home" di sekolahnya.
Stres itu belum usai, di rumah sudah menanti ”monster” yang bernama ambisi orang tua. Di teras sudah menunggu guru les, ada les bahasa Inggris, piano, matematika, tari, dst, dengan setumpuk buku dan latihan soal yang membosankan.
Benar kata Wapres bahwa untuk bisa menjadi bangsa yang maju harus ada kerja keras. Namun pertanyaannya, apakah sekolah dan sistem ujian sekarang ini sudah menun­jukkan ke arah usaha kerja keras yang sesungguhnya? Sikap kerja keras tidak bisa dijalani dengan cara meniadakan rasa bahagia anak. Kerja keras bukan sekadar mengha­fal ratusan definisi dan latihan soal ala LKS (Lembar Kerja Siswa), namun juga melibatkan kecerdasan emosi anak.
Apa pun keadaanya, pembinaan kecerdasan emosi perlu dilakukan oleh guru. Se­bab, pembinaan kecerdasan emosi dilakukan dalam rangka atara lain untuk tiga hal berikut.
(1)     Menemukan pribadi, yakni guru memfasilitasi siswa untuk mengenali kekuatan dan kelemahan dirinya sendiri. Siswa menerimanya secara positif dan dinamis dalam rang­ka pengembangan dirinya lebih lanjut.
(2)     Mengenal lingkungan, yakni guru memfasilitasi siswa agar mengenal lingkungan­nya seperti lingkungan sosial, ekonomi, budaya, dan sebagainya, dan menerima sebagai berbagai kondisi lingkungan itu secara positif dan dinamis.
(3)     Merencanakan masa depan, yakni guru memfasilitasi siswa agar mereka dapat me­rencanakan masa depannya.
Menurut Carl Witherington, ada empat hal yang harus diketahui guru untuk me­nge­tahui emosi siswanya, yaitu:
(a)      aspek emosi yang terlihat oleh mata seperti gemetar, takut sehingga matanya ter­be­lalak, menggeretakkan gigi untuk mengekspresikan rasa marah dan seba­gainya;
(b)      emosi yang ditunjukkan oleh sikap kurang senang, senang, benci;
(c)      ungkapan-ungkapan atau umpatan dari siswa; dan
(d)      kecenderungan emosi yang bersifat kualitatif, misalnya dirangsang oleh individu lain hingga timbul rasa senang, benci, jijik, malu, marah, dan sebagainya.
Pada umum­nya, anak-anak dari golongan ekonomi lemahlah yang mudah tersulut emosi­nya, meskipun anak dari keluarga mampu, juga memperlihatkan gejala serupa.
Anak-anak dari golongan ekonomi lemah akhirnya harus putus di tengah jalan, atau "layu sebelum berkembang". Hasil penelitian Silverstein dan Krate di lingkungan "ghetto" (dalam Megawangi, 1993) juga menunjukkan bahwa anak-anak dari golongan ekonomi lemah harus rela mendapatkan lingkungan sekolah yang jelek. Demikian pula lingkungan tempat tinggal yang kumuh menyebabkan mereka memiliki sifat ambivalen, terlalu cepat dewasa (precocious independent), pasrah (submissive), kurang perca­ya diri, dan penghargaan pada diri rendah (low self esteem).
Hasil penelitian di Amerika Serikat yang dilakukan oleh Goldens dan Birns (da­lam Megawangi, 1993) menunjukkan bahwa hasil tes IQ dari berbagai kelompok strata sosial ekonomi anak usia di bawah dua tahun tidak ada perbedaan yang berarti. Anak dari keluar­ga ekonomi lemah memiliki potensi yang relatif sama dengan anak dari go­long­an ekonomi mampu.
Data lain menunjukkan bahwa siswa-siswa di kota-kota besar sangat rawan terha­dap penga­ruh lingkungan yang buruk. Hal inilah yang menyulitkan guru-guru di kota-kota besar untuk mendidik siswanya. Ivan Illich atau Paulo Freire pernah mengkritik bahwa se­ko­lah formal itu milik kaum pemodal dan tidak berpihak kepada kaum papa. Sekolah formal pada akhirnya hanya alat legitimasi untuk melanggengkan kekuasaan dengan jalan men­ciptakan kelas-kelas sosial. Bahkan, Freire menyebut sebagai kekuatan untuk melang­geng­kan "kebudayaan bisu".
Terkait dengan itu Betrand Russell (1993) mengatakan bahwa mestinya pendi­dik­an itu lebih mempertimbangkan hubungan komunitas daripada hubungan individu, meski­pun tujuan pendidikan untuk membudayakan individu agar kapasitasnya berkem­bang mak­simal. Randall Collins dalam "The Credential Society: An Historical Sociology of Educa­tion and Stratification" juga mengatakan bahwa bukti-bukti empiris menunjukkan bahwa pendi­dikan formal merupakan awal dari proses stratifikasi sosial.
Sketsa singkat di atas rasanya pantas untuk dijadikan renungan para penentu kebi­jakan pendidikan agar di masa depan generasi muda Indonesia mendapatkan sistem pendi­dikan yang tidak saja mampu meningkatkan kecerdasan hidup, namun juga mam­pu mem­berikan bekal keterampilan hidup, pandangan hidup, dan nilai-nilai kehidupan yang merangsang kecerdasan emosi dan spiritualnya. Bangsa ini tidak ingin lagi mende­ngar ada siswa bunuh diri gara-gara tidak lulus ujian atau tidak dapat membayar SPP. 
Pustaka Acuan
Brooks, D. 2005. Increasing Test Score and Character Education The Natural Connect­ion, http://www.youngpeoplespress.com/Testpaper.pdf.
Elias, J. L. 1989. Moral education: secular and religious. Florida: obert E. Krieger Pu­blish­ing Co., Inc.
Hill, T.A. 2005. Character First! Kimray Inc., http://www.charactercities.org/­downloads/­publications/Whatischaracter.pdf.
Koesoema A, Doni. 2007. Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik Anak di Zaman Mo­dern. Jakarta: PT Grasindo
Li, Lanqing. 2005. Education for 1.3 Billion. Pearson Education and China: Foreign Language Teach­ing & Research Press.
Lickona, Thomas.  1991. Educating for Character: How Our Schools Can Teach Respect and Responsibility. New York: Bantam Books.
­­­­­­­­______________. 1987. Character development in the family.Dalam Ryan, K. & McLean, G.F. Character Development in Schools and Beyond. New York: Praeger.
Megawangi, Ratna. 2003. Pendidikan Karakter untuk Membangun Masyarakat Mada­ni. IPPK Indonesia Heritage Foundation.
______________. 2007. Pendidikan Karakter. Cimanggis: Indonesia Heritage Founda­tion.
Raka, Gedhe. 1997. “Pendidikan Membangun Karakter.” Bandung. Makalah Tidak dipubli­ka­sikan.

Sabtu, 25 September 2010

Kekuasaan Media Massa Mengonstruksi Realitas

Oleh Masnur Muslich
Jurusan Sastra Indonesa Fakultas sastra Universitas Negeri Malang
 
Abstract:The power of Mass media – newspaper, radio, or television – proves to be very strong. It constructs the reality through a text on the bases of some understanding which are never free from certain interests, sides, and values. Most of the listeners, readers, watchers faithfully perceive them, without any reserve, as if the realities presented to them are true representations of the realities. They are led to the frames created by the corresponding media. Thus, the public see the reality similarly to that of the media. They are trapped consciously or unconsciously, then, by the patterns of media construction.
Keywords: mass media, construction, reality, frame, externalization, internalization, objectivicazion.

Abstrak: Kekuasaan media massa ternyata cukup besar. Ia mengon­struk­si realitas dalam teks berita berdasarkan pemahaman yang tidak pernah vakum dari kepentingan, keberpihakan, dan nilai-nilai. Khalayak pembaca dan pendengar dengan setia memahaminya tanpa reserve, seolah sebagai realitas yang senyatanya. Mereka digiring ke dalam frame atau bingkai yang dipasang oleh media. Mereka melihat realitas seperti realitas yang dipahami media. Sadar atau tidak, mereka telah terperangkap oleh pola konstruksi media.

Kata-kata kunci: media massa, konstruksi, realitas, frame, eksternalisa­si, internalisasi, objektivikasi.

Ketika mendapatkan tawaran bertugas mengajar ke Thailand oleh Dekan Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang, saya langsung menerimanya de­ngan senang. Tetapi, ketika saya akan ditempatkan di Thailand Selatan, khusus­nya di Pat­­tani, saya agak ragu. Keraguan ini karena dua sebab. Pertama, berbagai media massa (baik cetak maupun elektronik) sedang gencar memberitakan bebe­ra­pa kejadian di Thailand Selatan, termasuk Pattani, yang terkesan kacau, dan se­cara tidak sadar saya menghubungkan kekacauan itu dengan kekacau­an di Aceh pada era Orde Baru di Indonesia dan peristiwa Gerakan 30 September 1965 PKI (Partai Komunis Indonesia) pada era Orde Lama. Kedua, setiap saat saya mende­ngar perbincangan tentang peristiwa Pattani, yang juga terkesan ka­cau, apalagi di­tambah dengan cerita-cerita dan analisis yang bermacam-macam, yang pada po­kok­­nya adalah di daerah Pattani sedang timbul gejolak.
Keraguan itu tidak menyurutkan niat saya. Saya harus berangkat dengan dibekali nasihat dan saran-saran antisipatif dari beberapa teman yang punya atensi terhadap saya. Ada yang menyarankan agar saya tidak berbicara tentang politik dengan warga Thailand agar saya tidak terjebak oleh pancingan intelejen. Ada juga yang menyarankan agar saya tidak keluar kampus pada malam hari un­tuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.
Pada tanggal yang telah ditetapkan, saya harus meninggalkan Indonesia menuju Thailand. Sesampai di Pattani, keadaan kota sangat ramai lalu-lintas, di kampus penuh kegiatan kuliah, dan toko-toko dipenuhi pembeli. Hari-hari berikut­nya pun ralatif sama. Tetap ramai seperti hari pertama kedatangan saya.
Keadaan yang saya amati ini sungguh bertolak belakang atau berbeda de­ngan kesan atau gambaran yang saya peroleh dari media massa. Kekacauan yang menyelimuti pikiran saya sebelum berangkat ke Thailand tidak saya jumpai. Cerita dari warga Thailand pun tidak saya dengar. Dari sini saya sadar bahwa pemahaman saya tentang Thailand Selatan, termasuk Pattani, dikonstruksi oleh media massa. Media massalah yang menggiring saya sehingga saya mempunyai pemahaman seperti itu tentang Thailand Selatan. Media massa rupanya memak­na­kan realitas (dalam hal ini peristiwa di Pattani) sesuai dengan konstruksinya sendiri. Anehnya, makna itu saya pahami sesuai dengan kehendak media massa. Realitas yang saya tangkap sesuai dengan realitas yang dikehendaki oleh media massa.
Sadar akan betapa kekuasaan media massa mengonstruksi realitas, tulis­an ini disusun. Lewat tulisan ini diharapkan muncul kesadaran – setidak-tidak­nya memahami – bahwa media massa ternyata tidak hanya menginformasikan sesuatu tetapi juga memaknakan sesuatu lewat berita-berita yang disuguhkan kepada khalayak (pembaca atau pendengar).

Berbagai Pandangan tentang Realitas 
Ilustrasi panjang di atas sengaja disampaikan untuk disadari bahwa “reali­tas” peristiwa Pattani yang disampaikan media massa berbeda dengan “realitas” yang sesungguhnya terjadi. Bahkan, mungkin berbeda dengan “realitas” yang di­ke­mas oleh media massa Thailand sendiri. Kalau begitu, apa sebenarnya realitas itu?
Terkait dengan “realitas” ini setidaknya ada tiga teori yang mempunyai pan­dangan yang berbeda, yaitu teori fakta sosial, teori definisi sosial, dan teori kon­struksi sosial. Teori fakta sosial beranggapan bahwa tindakan dan persepsi manu­sia ditentukan oleh masyarakat dan lingkungan sosialnya. Norma, struktur, dan institusi sosial menentukan individu manusia dalam arti luas. Segala tindakan, pe­mi­kiran, penilaian, dan cara pandang terhadap apa saja (termasuk peritiwa yang dihadapi) tidak lepas dari struktur sosialnya. Ia adalah penyambung lidah atau corong stuktur sosialnya. Jadi, realitas dipandang sebagai sesuatu yang eksternal, objektif, dan ada. Ia merupakan kenyataan yang dapat diperlakukan secara objek­tif, karena realitas bersifat tetap dan membentuk kehidupan individu dan masya­rakat. Sementara itu, teori definisi sosial beranggapan sebaliknya. Manusialah yang membentuk perilaku masyarakat. Norma, struktur, dan institusi sosial diben­tuk oleh individu-individu yang ada di dalamnya. Manusia benar-benar otonom. Ia bebas membentuk dan memaknakan realitas, bahkan menciptakannya. Wacana-wacana (discourses) ia cipatakan sesuai dengan kehendaknya. (Lihat Poloma, 1984:308-310). Jadi, realitas dipandang sebagai sesuatu yang internal, subjektif, dan nisbi. Ia merupakan kenyataan subjektif yang bergerak mengikuti dinamika makna subjektif individu.
Kedua teori itu dipandang sangat ekstrem dan masing-masing sangatlah kasual. Teori fakta sosial menafikan eksistensi individu yang mempunyai pikiran, rencana, cita-cita, dan kehendak. Individu seolah sebagai kapas yang geraknya tergantung pada angin sosial. Sebaliknya, teori definisi sosial sangat menonjolkan subjek individu, yang menafikan struktur sosial. Padahal, sebagai makhluk sosial, individu sangat membutuhkan perilaku sosial: penghargaan, prestise, dan kedu­duk­an atau jabatan sosial.  
Menyadari kelemahan kedua teori itu, muncullah teori konstruksi sosial. Teori yang dikembangkan oleh Peter L Berger dan Thomas Luckmann ini ber­pandangan bahwa realitas memiliki dimensi subjektif dan objektif. Manusia meru­pakan instrumen dalam menciptakan realitas yang objektif melalui proses ekster­nalisasi, sebagaimana ia mempengaruhinya melalui proses internalisasi yang men­cerminkan realitas yang subjektif. Dengan demikian, masyarakat sebagai produk manusia, dan manusia sebagai produk masyarakat, yang keduanya ber­langsung secara dialektis: tesis, antitesis, dan sintesis. Kedialektisan ini sekaligus menandakan bahwa masyarakat tidak pernah sebagai produk akhir, tetapi tetap sebagai proses yang sedang terbentuk. Manusdia sebagai individu sosial pun tidak pernah stagnan selama ia hidup di tengah masyarakatnya.
Secara teknis, tesis utama Berger dan Luckmann adalah manusia dan ma­syarakat adalah produk yang dialektis, dinamis, dan plural secara terus-menerus. Ia bukan realitas tunggal yang statis dan final, melainkan merupakan realitas yang bersifat dinamis dan dialektis. Realitas bersifat plural ditandai dengan adanya rela­tivitas seseorang ketika melihat kenyataan dan pengetahuan. Masyarakat adalah produk manusia, namun secara terus-menerus  mempunyaiu aksi kembali terha­dap penghasilnya. Sebaliknya, manusia juga produk masyarakat. Seseorang atau individu menjadi pribadi yang beridentitas kalau ia tetap tinggal dan menjadi entitas dari masyarakatnya. Proses dialektis ini, menurut Berger dan Luckmann (dalam Eriyanto, 2002: 14-19), mempunyai tiga momen, yaitu eksternalisasi, objektivikasi, dan internalisasi.
Eksternalisasi adalah usaha ekspresi diri manusia ke dalam dunia luar, baik kegiatan mental maupun fisik. Momen ini bersifat kodrati manusia. Ia selalu men­cu­­­rahkan diri ke tempat di mana ia berada. Ia ingin menemukan dirinya dalam suatu dunia, dalam suatu komunitas. Dan, inilah yang membedakannya dengan binatang. Sejak lahir, bahkan sejak masa foetal, binatang “sudah menyelesaikan” masa perkembangannya. Tetapi, perkembangan manusia, supaya bisa disebut “manusia”, “belum selesai” pada waktu dilahirkan. Ia perlu berproses dengan cara berinteraksi dengan lingkungan dan mereaksinya terus-menerus baik fisik maupun nonfisik, sampai ia remaja, dewasa, tua, dan mati. Artinya, selama hidup manusia selalu menemukan dirinya dengan jalan mencurahkan dirinya dalam dunia. Sifat “belum selesai” ini dilakukan terus-menerus dalam rangka menemukan dan mem­bentuk eksistensi diri (Lihat Mursanto, 1993:227). 
Objektivikasi adalah hasil yang telah dicapai baik mental maupun fisik dari kegiatan eksternalisasi manusia. Hasilnya berupa realitas objektif yang terpisah dari dirinya. Bahkan, realitas objektif yang dihasilkan berpotensi untuk “berhadap­an” (bahkan mengendalikan) dengan si penghasilnya. Misalnya, dari kegiatan eks­ternalisasi manusia menghasilkan alat demi kemudahan hidupnya: cangkul untuk meningkatkan pengolahan pertanian atau bahasa untuk melancarkan komunikasi. Kedua produk itu diciptakan untuk menghadapi dunia. Setelah dihasilkan, kedua produk itu menjadi realitas yang objektif (objektivikasi). Ia menjadi dirinya sendiri, terpisah dengan individu penghasilnya. Bahkan, dengan “logika”-nya sendiri, ia bisa memaksa penghasilnya. Realitas objektif cangkul bisa menentukan bagai­mana petani harus mengatur cara kerjanya. Ia secara tidak sadar telah didikte oleh cangkul yang diciptakannya sendiri. Begitu juga bahasa. Cara berpikir manusia akhirnya ditentukan oleh bahasa yang diciptakannya sendiri. Bahkan, mereka bisa bersengketa dan perang karena bahasa. Realitas objektif ini berbeda dengan ke­nyataan subjektif individual. Realitas objektif menjadi kenyataan empiris, bisa di­alami oleh setiap orang dan kolektif.
Internalisasi adalah penyerapan kembali dunia objektif ke dalam kesadaran subjektif sedemikian rupa sehingga individu dipengaruhi oleh struktur sosial atau dunia sosial. Berbagai macam unsur dari dunia yang telah terobjektifkan tersebut akan ditangkap sebagai gejala realitas di luar kesadarannya, dan sekaligus seba­gai gejala internal bagi kesadaran. Melalui internalisasi ini, manusia menjadi pro­duk masyarakat. Salah satu wujud internalisasi adalah sosialisasi. Bagaimana suatu generasi menyampaikan nilai-nilai dan norma-norma sosial (termasuk bu­daya) yang ada kepada generasi berikutnya. Generasi berikut diajar (lewat berba­gai kesempatan dan cara) untuk hidup sesuai dengan nilai-nilai budaya yang me­warnai struktur masyaraklatnya. Generasi baru dibentuk oleh makna-makna yang telah diobjektivikasikan. Generasi baru mengidentifikasi diri dengan nilai-nilai ter­sebut. Mereka tidak hanya mengenalnya tetapi juga mempraktikkannya dalam se­gala gerak kehidupannya. (Lihat Eriyanto, 2002:15).
Berger dan Luckmann berpandangan bahwa realitas tidak dibentuk secara ilmu, juga tidak diturunkan oleh Tuhan. Sebaliknya, realitas itu dibentuk dan dikon­struksi manusia. Pemahaman ini menyiratkan bahwa realitas berpotensi berwajah ganda dan plural. Setiap orang bisa mempunyai konstruksi yang berbeda-beda atas suatu realitas. Setiap orang yang mempunyai pengalaman, preferensi, tingkat pendidikan, lingkungan atau pergaulan sosial tertentu akan menafsirkan atau me­maknakan realitas berdasarkan konstruksinya masing-masing. Misalnya, peristiwa demonstrasi mahasiwa yang marak di Indonesia pada tahun 1997 dimaknakan atau ditafsirkan berbeda-beda oleh beberapa kelompok atau kalangan. Kelompok tertentu mengonstruksi demonstrasi mahasiswa sebagai tindakan anarkis, di luar batas, mengganggu ketenteraman masyarakat, dan sebagai alat permainan elit politik tertentu. Tetapi, pada saat yang bersamaan, kelompok lain mengonstruksi demonstrasi mahasiswa sebagai tindakan untuk memperjuangkan nasib rakyat, dan berjuang tanpa pamrih demi kepentingan rakyat. Kedua konstruksi yang ber­beda tersebut dilengkapi dengan legitimasi tertentu, sumber kebenaran tertentu, bahwa yang mereka katakan dan mereka percayai itu adalah benar adanya, dan punya dasar atau bukti yang kuat.
Selain plural, realitas (sebagai produk konstruksi) juga bersifat dinamis. De­monstrasi mahasiswa (sebagai produk dari konstruksi sosial) selalu terjadi dalam dialektika sosial. Dalam level atau tingkat individu, dialektika berlangsung antara faktisitas objektif dan makna subjektif demonstrasi mahasiswa bagi individu. Da­lam level atau tingkat sosial, pluralitas konstruksi terhadap demonstrasi mahasis­wa mengalami proses dialektika juga. Sebagai produk dari konstruksi sosial, reali­tas tersebut merupakan realitas subjektif dan realitas objektif sekaligus. Dalam realitas subjektif, realitas tersebut menyangkut makna, interpretasi, dan hasil relasi antara individu dan objek. Setiap individu mempunyai latar belakang (back ground) sejarah, pengetahuan, dan lingkungan berbeda-beda, yang bisa menghasilkan pe­nafsiran yang berbeda pula ketika melihat dan berhadapan dengan objek. Sebalik­nya, realitas juga mempunyai dimensi objektif, yaitu sesuatu yang dialami, bersifat eksternal, dan berada di luar diri individu. Dalam kasus demonstrasi mahasiswa, misalnya, sebagai realitas objektif, gerakan mahasiswa memang ada. Kita bisa menyaksikannya. Ia berada di luar diri kita. Kita bisa membaca selebaran (pamflet) yang dibawanya dan disebarkan di jalan-jalan, kita bisa melihat dan mendengar­kan bagaimana mahasiswa berorasi di depan gedung DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) di pusat Jakarta dan di daerah, dan sebagainya. Dalam perspektif kon­struksi sosial, kedua realitas tersebut (realitas subjektif dan realitas objektif) saling berdialektika. Seseorang akan mencurahkan ketika bersinggungan dengan Kenya­taan (eksternalisasi), dan sebaliknya ia juga akan dipengaruhi oleh kenyataan ob­jek­tif yang ada (internalisasi).
Itulah berbagai pandangan tentang realitas. Lalu, bagaimana dengan re­alitas dalam konteks berita yang disampaikan oleh media massa? Berita dalam media massa tidak bisa disamakan dengan fotokopi dari realitas, ia harus dipan­dang sebagai hasil konstruksi dari realitas. Karena itu, peristiwa yang sama ber­potensi dikonstruksi secara berbeda oleh beberapa media massa. Wartawan atau jurnalis bisa jadi mempunyai pandangan dan konsepsi yang berbeda ketika meli­hat suatu peristiwa atau kejadian, yang terwujud dalam teks berita. Realitas bukan dioper begitu saja menjadi berita. Realitas adalah produk interaksi antara warta­wan dan fakta. Dalam proses internalisasi, realitas diamati oleh wartawan dan di­serap dalam kesadaran waratawan. Dalam proses eksternalisasi, wartawan men­ceburkan dirinya untuk memahami realitas. Konsepsi tentang fakta diekspresikan untuk melihat realitas. Dengan demikian, teks berita yang kita baca di surat kabar atau kita dengar di televisi atau radio adalah produk dari proses interaksi dan di­alektika tersebut. Misalnya, peperangan antara tentara Irak dan tentara Amerika Serikat yang berakhir dengan kejatuhan rezim Saddam Husein yang lalu. Yang per­tama mungkin terjadi eksternalisasi. Wartawan yang datang ke daratan Irak mempunyai kerangka pemahaman dan konsepsi tersendiri tentang peperangan antara tentara Irak dan Amerika Serikat. Ada yang melihat peperangan di Irak se­ba­gai kepentingan Amerika Serikat untuk menunjukkan adi kuasa atau super power-nya. Ada yang melihat peperangan di Irak sebagai konflik internal rezim Saddam dan kelompok penentangnya. Ada juga yang melihat peperangan di Irak sebagai buah dari kediktatoran Saddam sendiri atas rakyatnya. Berbagai skema dan pemahaman itu dipakai untuk menjelaskan peritiwa dan fenomena yang terjadi di Irak. Proses selanjutnya adalah internalisasi. Ketika wartawan berada di Irak, ia melihat banyak peristiwa. Ada rumah-rumah penduduk yang terbakar oleh roket Amerika, ada ratusan mayat berserakan di jalan, ada patung Saddam yang diro­boh­kan oleh tentara Amerika yang dibantu oleh rakyat Irak, dan berbagai peristiwa lain. Berbagai peristiwa tersebut diinternalisasi dengan cara dilihat dan diobservasi wartawan. Terjadilah proses dialektika antara apa yang ada dalam pikiran warta­wan dengan apa yang dilihatnya. Akhirnya, terjadilah teks berita. Oleh karena itu, berita adalah hasil dari interaksi antara kedua proses tersebut.
Berdasarkan gambaran itu, bagaimana posisi khalayak pembaca atau pen­dengar berita? Pertanyaan ini bisa terjawab dengan ilustrasi berikut. Tuckman (1978:1) lewat bukunya yang berpengaruh Making News menyatakan bahwa “berita adalah jendela dunia”. Melalui berita, kita mengetahui apa yang terjadi di Indonesia, di Malaysia, di Thailand, bahkan di Irak dan di Lebanon. Melalui berita, kita mengetahui apa saja yang dilakukan elit politik di Jakarta, di Kuala Lumpur, di Bangkok, bahkan di New York dan di Tokyo. Tetapi, apa yang kita lihat, apa yang kita ketahui, dan apa yang kita rasakan mengenai dunia itu tergantung pada jende­la yang kita pakai. Jendela itu berukuran besan atau kecil. Jendela yang besan akan membantu kita memandang dunia lebih luas; sebaliknya jendela yang kecil akan membatasi pandangan kita. Selain itu, apakah jendela itu berjeruji atau tidak. Apakah jendela itu bisa dibuka lebar atau hanya bisa dibuka setengah. Apakah lewat jendela itu kita bisa melihat secara bebas ke luar, ataukah hanya bisa meng­intip di balik jeruji. Atau, apakah di depan jendela itu ada pohon yang menghalangi penglihatan kita atau tidak. Ternyata, posisi kita sangat tergantung pada jendela. Dalam berita, jendela itulah yang disebut frame atau bingkai (Lihat Durham, 1998; Entman, 1993; Fisher, 1997).
Terkait dengan frame atau bingkai ini, Said (1981) pernah memberikan kritik tajam bagaimana Islam dilihat dalam jendela Barat. Menurut Said, media-media Barat menggambarkan Islam dengan pandangan yang ortodoks. Islam digambar­kan dengan kekerasan, dengan tradisional. Media banyak mewawancarai orang yang itu-itu saja, pakar yang itu-itu saja, dan dengan pandangan yang negatif te­rus-menerus. Islam identik dengan potong tangan atau hukum rajam yang tidak manusiawi dan teroris. Islam bagi masyarakat Barat identik dengan Timur Tengah. Secara geografis khalayak Barat merasakan sangat jauh, walaupun hanya lewat imajinasi. Stereotip tentang Islam demikian ini terbentuk karena mereka hanya melihat satu frame, yaitu jendela Barat, yang mereka peroleh lewat berita.

Kinerja Media Massa
Terkait dengan media massa ini, paradigma Peter D. Moss (1999) cukup menarik untuk disimak. Ia mengatakan bahwa wacana media massa merupakan konstruk kultural yang dihasilkan oleh ideologi. Karena itu, berita dalam media massa menggunakan frame atau kerangka tertentu untuk memahami realitas so­sial. Lewat narasinya, media masaa menawarkan definisi-definisi tertentu menge­nai kehidupan manusia: siapa pahlawan dan siapa penjahat, apa yang baik dan apa yang buruk bagi rakyat, apa yang patut dan apa yang tidak patut dilakukan seorang elit, pemimpin, atau penguasa; tindakan apa yang disebut perjuangan, pemberontakan, terorisme, pengkhianat; isu apa yang televan atau tidak; dan so­lusi apa yang harus diambil dan ditinggalkan. Bagi Moss, ideologi merupakan se­perangkat asumsi budaya yang menjadi “normalitas alami dan tidak pernah diper­soalkan lagi”. Pandangan ini sejalan dengan hipotesis Sapir-Whorf yang dikenal dalam linguistik bahwa bahasa itu tidak sekedar deskriptif, yaitu sebagai sarana untuk melukiskan suatu fenomena atau lingkungan, tetapi juga dapat mempenga­ruhi cara kita melihat lingkungan (Lihat Infante, 1990: 199). Implikasinya, bahasa juga dapat digunakan untuk memberikan aksentuasi tertentu terhadap suatu peris­tiwa atau tindakan, misalnya dengan jalan menekankan, mempertajam, memper­lem­but, mengagungkan, melecehkan, membelokkan, atau mengaburkan peristiwa atau tindakan.
Terkait dengan media massa sebagai sarana komuniukasi massa ini, sela­ma ini ada dua pandangan, yaitu pandangan positivisme[1] dan pandangan kon­struk­­ti­visme[2]. Bagaimana fungsi media massa, bagaimana isi dan sifat berita, ba­gaimana peristiwa disajikan, dan bagaimana tugas wartawan, dipahami secara berbeda oleh kedua pandangan tersebut.

Fungsi Media Massa
Pandangan konstruksivisme memahami tugas dan fungsi media massa ber­beda dengan pandangan positivisme. Dalam pandangan positivisme, media mas­sa dipahami sebagai alat penyaluran pesan. Ia sebagai sarana bagaimana pesan disebarkan dari komunikator (wartawan, jurnalis) ke khalayak (pendengar, pemba­ca). Media massa benar-benar sebagai alat yang netral, mempunyai tugas utama penyalur pesan. Tidak ada maksud lain. Kalau media tersebut menyampaikan suatu peristiwa atau kejadian, memang itulah yang terjadi. Itulah realitas yang sebenarnya. Tidak ditambah dan tidak dikurangi.
Dalam pandangan konstruktivisme, media massa dipahami sebaliknya. Media massa bukan hanya saluran pesan, tetapi ia juga subjek yang mengonstruksi realitas, lengkap dengan pandangan, bias, dan pemihakannya. Di sini me­dia massa dipandang sebagai agen konstruksi sosial yang mendefinisikan realitas. (Lihat Bennett, 1982: 287-288; Hidayat, 1999: 20). Pandangan ini menolak argu­men yang menyatakan bahwa media sebagai tempat saluran bebas. Berita yang kita baca dan kita dengar dari media bukan hanya menggambarkan relitas, bukan hanya menunjukkan sumber berita, tetapi juga konstruksi dari media itu sendiri. Lewat berbagai instrumen yang dimilikinya, media ikut membentuk realitas yang terkemas dalam pemberitaan. Peristiwa kerusuhan di Maluku (Indonesia), missal­nya, selalu diberitakan sebagai konflik antar-agama. Hal itu bukan menunjukkan realitas yang sebenarnya, tetapi juga menggambar bagaimana media ikut berpe­ran dalam mengonstruksi realitas. Apa yang kita baca dan kita dengar setiap hari adalah produk dari pembentukan realitas oleh media. Media adalah agen yang secara aktif menafsirkan realitas untuk disajikan kepada khalayak.
Dengan cara apa media mengonstruksi realitas? Media memilih kejadian mana yang patut diekspos sebagai bahan berita dan mana yang tidak patut. Da­lam peristiwa Maluku, misalnya, bisa jadi yang dipilih atau diekspos hanya pem­bakaran tempat-tempat ibadah, sementara kerukunan antar pemeluk agama yang ada tidak diekspos. Media juga memilih orang atau tokoh sebagai sumber berita berdasarkan kriterianya sendiri sehingga hasil pemberitaannya pun cenderung sepihak. Dengan demikian, media bukan hanya memilih peritiwa dan menentukan sumber berita, melainkan juga mendefinisikan peristiwa dan sumber berita. Lewat pemberitaan, media dapat membingkai peristiwa dengan bingkai tertentu. Peristi­wa yang telah terbingkai inilah yang didengar dan dibaca khalayak. Khalayak tidak dapat melihatnya dari bingkainya sendiri.

Isi dan Sifat Berita 
 Dalam pandangan positivisme, berita adalah informasi. Ia dihadirkan kepa­da khalayak sebagai representasi dari kenyataan. Kenyataan itu ditulis kembali dan ditransformasikan lewat berita. Berita dipandang sebagai mirror of reality, ka­renanya ia harus mencerminkan realitas yang hendak diberitakan. (Hallin dan Man­cini, 1985:205). Jadi, berita benar-benar linier dan lepas dari kepentingan ter­tentu. Tetapi, dalam pandangan konstruktivisme, berita itu ibarat sebuah drama. Ia tidak menggambarkan realitas, tetapi potret dari arena atau panggung pertarungan dari berbagai pihak yang berkaitan dengan peristiwa. Carey (1989: 21) mengata­kan demikian.
“News is not information but drama. It does not describe the world but potrays an arena of dramatic forces and action; it exists solely in historical time; and it invites our participation on the basis of our assuming, often vicariously, social roles within it.”
Misalnya, peristiwa di Libanon yang saat ini menjadi perhatian dunia. Media massa secara aktif menugaskan wartawan dan krunya ke tempat kejadian. Mereka secara aktif membentuk realitas seperti layaknya sebuah drama. Mereka yang setuju dan yang tidak setuju dengan peritiwa itu dipertentangkan. Lalu dibumbui dengan anali­sis dari berbagai pihak, tokoh yang terlibat, pakar politik, dan beberapa kepala Ne­ga­ra. Tidak cukup itu. Wartawan masih mendefinisikan siapa-siapa yang dianggap pahlawan (hero) dan siapa-siapa yang dianggap pengkhianat. Semua itu dikemas dalam berita bagaikan drama yang dipertontonkan kepada khalayak. Kita disuguhi adegan berdasarkan frame media.
Dari sini kita bisa memahami bahwa berita tidak pernah vakum dari kepen­tingan. Berita adalah hasil dari konstruksi sosial yang selalu melibatkan pandang­an, ideologi, dan nilai-nilai. Bagaimana realitas itu dijadikan berita sangat tergan­tung pada bagaimana fakta itu dipahami dan dimaknai (Lihat Schudson, 1991: 141-142). Proses pemaknaan selalu melibatkan nilai-nilai tertentu sehingga mus­tahil berita merupakan pencerminan dari suatu realitas. Peristiwa yang sama bisa menghasilkan berita yang berbeda karena ada perbedaan cara melihat atau cara membingkai. Perbedaan relitas yang sesunggguhnya dalam berita  tidak dianggap salah; tetapi sebagai suatu kewajaran. Yang penting, kita (sebagai khalayak penik­mat berita) menyadarinya.
Oleh karena itu, apabila kita menanyakan “Bagaimana berita yang baik?” pada dasarnya kita terjebak pada pandangan positivisme. Kita sering menuntut bahwa berita sebaiknya berimbang, liputan dua sisi, netral, dan objektif.[3] Teori jurnalistik pun memberikan petunjuk (guide) seperti itu. Tetapi, dalam praktiknya, sulit diterapkan. Praktik jurnalistik berbeda dengan teori jurnalistik. Hal ini karena media massa –  lewat wartawan dan krunya – tidak bisa lepas dari konteks sosial yang dihadapinya.

Fungsi dan Tugas Wartawan 
Kalau begitu, bagaimana fungsi dan tugas wartawan atau jurnalis? Dalam pandangan positivisme, berita dilihat sebagai pencerminan realitas. Curran (1996: 120) mengatakan “pesan adalah realitas itu sendiri”. Dengan demikian, seorang wartawan yang baik adalah wartawan yang mampu memindahkan realitas itu ke dalam berita. Wartawan dituntut mampu bekerja secara professional, katanya. Ia harus bisa menyingkirkan keberpihakan dan pilihan moral sehingga apa yang di­ungkapkan dalam berita murni fakta, bukan penilaian individu sang wartawan. War­tawan seperti layaknya seorang pengamat (obsever). Ia hanya bertugas mem­berikan atau mentransfer apa yang dia lihat dan apa yang dia rasakan di lapangan. Karena itu, wartawan harus bisa berfungsi sebagai pemulung yang netral, yang mengambil fakta di lapangan ada adanya, tidak ditambah dan tidak dikurangi. Glasser mengatakan (1999: 191):
“What remains fundamentally unchanged is the journalist’s naively empirical view of the world, a belief in the separation of fact and values, a belief in the existence of reality – the reality of empirical facts. Nowhere is this belief more evident than when news is defined as something external to – and independent of – the journalist.
Dengan demikian, realitas yang dilaporkan wartawan sama dengan realitas yang sesungguhnya. Sebagai pelapor, ia harus mengambil jarak dengan objek yang diliput. Adanya jarak ini akan membantu wartawan mendapatkan fakta apa adanya. Adanya jarak ini juga akan membatasi kemungkinan subjektivitas personal yang bermain ketika meliput peristiwa. Dengan cara inilah, sesuai dengan pandangan positivisme, objektrivitas pemberitaan bisa diperoleh.
Pandangan konstruktivisme tidaklah demikian. Wartawan dipandang seba­gai aktor atau agen konstruksi. Wartawan bukan hanya melaporkan fakta atau pe­ristiwa,  tetapi juga ikut terlibat dalam pendefinisian fakta atau peristiwa. Sebagai aktor sosial, wartawan bukan pemulung yang mengambil wakta begitu saja. Kare­na dalam kenyataannya tidak ada realitas yang bersifat eksternal dan objektif yang berada di luar diri wartawan. Sebaliknya, realitas itu dibentuk dan diproduksi mele­wati proses konstruksi yang dilakukan wartawan. Lewat pemahaman dan pemak­na­an subjektif wartawanlah, realitas itu muncul. Seperti dikatakan Lichtenberg, realitas hasil konstruksi itu selalu terbentuk melalui konsep dan kategori yang kita buat (dalam hal ini wartawan). Kita tidak dapat melihat dunia tanpa kategori, tanpa konsep. Redaksi Lichtenberg (1991: 219) sebagai berikut:
“The methaphysical idealist denies that we can know what the world is like intrinsically, apart from a perspective. The world is our construction in the sense that we inevitably encounter it through our concepts and our categories; we cannot see the world concept – or category – free.”
Artinya, kalau seorang wartawan menulis berita, ia sebetulnya membuat dan mem­bentuk dunia, membentuk realitas. Ia tidak mungkin mengambil jarak dengan objek yang akan diliput (Lihat Hartley, 1990:13).  Mengapa demikian? Karena ketika ia meliput suatu pewristiwa dan menuliskannya, ia secara sengaja atau tidak meng­gunakan dimensi persepsualnya. Ketika ia membuat berita, ia sebetulnya telah men­jalin transaksi dan hubungan dengan objek yang diliputnya. Dengan demikian, berita pada dasarnya adalah produk dari transaksi antara wartawan dan fakta yang ia liput, antara waratawan dan sumber berita. Secara jelas Ericsson (dalam Tuck­man, 1988: 87) mengatakan:
“News is product of transaction between journalists and their sources. The primary source of reality for news is not what is displayed or what happens in the real world. The reality of news is embedded in the nature and type of social and their sources, and in the politics of knowledge that emerges on each spesific newsbeat.”  (Lihat juga Comfield, 1992: 48)
Konsekuensi logis dari agen konstruksi realitas adalah etika, pilihan moral, dan keberpihakan wartawan merupakan bagian yang integral dan inheren dalam produksi berita. Walaupun pandangan positivisme menghendaki agar hal itu dihin­dari oleh wartawan, tetapi dalam kenyataannya tidaklah mungkin dihilangkan. War­tawan bukanlah robot yang bekerja seperti mesin elektronik. Wartawan mempu­nyai pengetahuan, pengalaman, motivasi, keinginan, dan hal-hal lain yang berbau subjektif, yang tidak mungkin bisa dilepaskan ketika berhadapan dengan fakta so­sial. Bahkan, lebih radikal lagi, ia mempunyai preferensi dalam proses kerjanya. Ia bukan dengan cara: melihat, menyimpulkan, dan menulis; tetapi lebih sering terjadi: menyimpulkan, lalu melihat fakta apa yang ingin dikumpulkan di lapangan. Terkait dengan ini, Lippman (1992: 162) mengatakan: 
 “For the most part we do not first see, and then define; we define first and then see. In the great blooming, buzzing onfusion of the outer world we pick out what our culture has already defined for us, and we tend to perceive that which we have picked out in the form stereotyped for us by our culture.”
Di sini jelaslah bahwa wartawan tidak bisa menghindarkan diri dari kemungkinan subjektivitas. Ia memilih fakta yang ingin ia pilih, dan membuang fakta yang ingin ia buang.

Penutup 
Uraian di atas menyadarkan kita, betapa besar kekuasaan media massa mengonstruksi realitas. Kita setiap hari disuguhi berita hasil konstruksi media. Be­rita hasil pemaknaan media atas dunia. Kita mengetahui dunia hanya lewat jendela atau frame yang dipasang media. Padahal, jendela itu mungkin sempit, berjeruji, dan di depannya ada pohon penghalang. Anehnya, dunia yang kita lihat sering kita anggap sebagai dunia yang sebenarnya. Kita sering berdiskusi, berargumentasi, berdebat, bahkan bertengkar berdasarkan pemahaman kita terhadap dunia hasil konstruksi media.

Daftar Rujukan 
Bennett, Tonny. 1982. “Media, Reality, Signification.” Dalam Michael Gurevitch, Ton­ny Bennett, dan James Wollacott (ed.). Culture, Society and the Media. London: Methuen.
Carry, James W. 1989. Communication as Culture: Essays on Media and Society. Boston: Unwin Hyman.
Cornfield, Michel B. 1992. “The Press and Political Controversy: The Case for Nar­ra­tive Analysis.” Political Communication. Vol. 9. No.1.
Curran, James. 1996. “Rethinking Mass Communication.” Dalam James Curran, Da­­vid Morley, dan Valerie Walkerdine (ed.). Cultural Studies and Communi­ca­­tion. London: Arnold.
____________. 1996. “The New Revisionism in Mass Comuniation Research: A Reappraisal.” Dalam James Curran, David Morley, dan Valerie Walkerdine (ed.). Cultural Studies and Communication. London: Arnold.
Durham, Frank D. 1998. “News Frames as Social Narrative: TWA Flight 800.” Jour­­nal of Communication. Vol. 48. No. 4.
Entman, Robert M. 1993. “Framing: Toward Clarification of a Fractured Paradigm.” Political Communication. Vol. 43. No. 4.
Eriyanto. 2002. Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media. Yogya­karta: LKiS Yogyakarta.
Fisher, K. 1997. “Locating Frames in The Discursive Universe.” Sociological Re­search Online. Vol. 2. No. 3. Diambil dari: http://www.socresonline.org.uk/ 2/3/4.html.
Glasser, Theodore L. 1999. “Objectivity and News.” Dalam Howard Tamber (ed.). News: A Reader. Oxford: Oxford University Press.
Hallin, Daniel C. dan Paolo Mancini. 1985. “Speaking of the President.” Dalam Mi­chel Gurevitch dan Mark R. Ley (ed.). Mass Communication Review Year­book. Vol 4.
Hartley, John. 1990. Understanding News. London and New York: Routledge.
Hidayat, Dedy N. 1999. “Paradigma dan Perkembangan Penelitian Komunikasi.” Jurnal Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia. Vol. 3. April.
______________. 1999. “Politik Media, Politik Bahasa dalam Proses Legitimasi dan Delegitimasi Rezim Orde Baru.” Dalam Sandra Kartika dan M. Mahendra (ed.). Dari Keseragaman: Wacana Multikultural dalam Media. Jakarta: LSPP.
Infante, Dominic A., Andrew S Rabcer, and Deanna F. Womack. 1990. Building Communication Theory. Prospect Heights, IL., Waveland.
Lichtenberg, Judith. 1991. “In Defense of Objectivity.” Dalam James Curran dan Michael Gurevich (ed.). Mass Media and Society. London: Edward Arnold.
Lippman, Walter. 1992. “Stereotype, Public Opinion, and the Press.” Dalam Elliot D. Cohen (ed.). Philosophical Issues in Journalism. New York: Oxford University Press.
Moss, Peter D. 1999. “Conflict and Containment in Television News: A Case Stu­dy”. Dalam Mary S. Mander (ed.). Framing Friction. Urbana: University of Illinois Press.
Mursanto, RB Riyo. 1993. “Peter Berger Realitas Sosial Agama.” Dalam Tim Re­daksi Driyarkara (ed.). Diskursus Kemsyarakatan dan Kemanusiaan. Jakarta: Gramedia.
Poloma, Margaret M. 1984. Sosiologi Kontemporer. Jakarta: CV Rajawali.
Said, Edward W. 1981. Covering Islam: How The Media and The Expert Determine: How We See the Rest of The World. New York: Pantheon Books.
Schudson, Michael. 1991. “The Sociology of News Production Revisited.” Dalam James Curran dan Michael Gurevitch (ed.). Mass Media and Society. London: Edward Arnold.
Tuchman, Gaye. 1978. Making News: A Study in the Construction of Reality. New York: The Free Press.
_____________. 1988. “Qualitative Methods in the Study of News.” Dalam Klaus Bruhn Jensen dan Nicholas W. Janskowski (ed.). A Hanbook of Qualitative Methodologies for Mass Communication Research. London and New York: Routledge.







[1] Pandangan positivisme telah lama mendominasi dunia ilmiah, khususnya studi ilmu-ilmu sosial. Di Barat pandangan ini sudah mulai ditinggalkan setelah mengalami kejayaan pada tahun 1970-an. Mereka menggantikan dengan pandangan alternatif, seperti fenomenologi, etnometodologi, interaksionisme simbolik, dramaturgi, hermeneutika, semiotik, teori feminisme, teori kritis, teori konstruktivisme, dan sebagainya. Di Indonesia, mungkin saja di sebagian besar Negara Asia, kajian ilmu-ilmu sosial masih belum meninggalkan pandangan positivisme. Dalam bidang komunikasi, model-model kajian komunikasi linier seperti yang ditawarkan Carl Hovland, Wilbur Schramm, Horald Laswell, Claude Shannon dan Warren Weaver, David Berlo, dan George Gerbner, masing sangat dominan dan mewarnai kajian mereka
[2] Pandangan konstruktivisme dikembangkan dari teori sosial yang digagas oleh George Herbert Mead, Herbert Blumer, Alfred Schutz, Horald Grafinkel, Peter L. Berger, dan Thomas Luckmann, walaupun secara eksplisit mereka tidak menggunakan konsep-konsep komunikasi yang lazim digunakan dalam model komunikasi linier. Pada prinsipnya merteka beranggapan bahwa bahasa sebagai sarana komunikasi tidak berada dalam vakum sosial. (Lihat Poloma, 1984).
[3] Peliputan yang berimbang adalah penampilan pandangan yang setara antara pihak-pihak yang terlibat, baik yang pro maupun yang kontra.
Peliputan dua sisi adalah pemberian kesempatan yang sama bagi semua pihak untuk menyampaikan pendangan dan pendapatnya atas suatu masalah.
Prinsip netral berarti dalam penulisan maupun pencarian bahan, wartawan tidak boleh memihak pada kelompok tertentu.
Prinsip objektif adalah peliputan apa adanya, tidak ditambah dan tidak dikurangi, dan tidak memasukkan opini pribadi ke dalam pemberitaan.