Sabtu, 25 September 2010

Kekuasaan Media Massa Mengonstruksi Realitas

Oleh Masnur Muslich
Jurusan Sastra Indonesa Fakultas sastra Universitas Negeri Malang
 
Abstract:The power of Mass media – newspaper, radio, or television – proves to be very strong. It constructs the reality through a text on the bases of some understanding which are never free from certain interests, sides, and values. Most of the listeners, readers, watchers faithfully perceive them, without any reserve, as if the realities presented to them are true representations of the realities. They are led to the frames created by the corresponding media. Thus, the public see the reality similarly to that of the media. They are trapped consciously or unconsciously, then, by the patterns of media construction.
Keywords: mass media, construction, reality, frame, externalization, internalization, objectivicazion.

Abstrak: Kekuasaan media massa ternyata cukup besar. Ia mengon­struk­si realitas dalam teks berita berdasarkan pemahaman yang tidak pernah vakum dari kepentingan, keberpihakan, dan nilai-nilai. Khalayak pembaca dan pendengar dengan setia memahaminya tanpa reserve, seolah sebagai realitas yang senyatanya. Mereka digiring ke dalam frame atau bingkai yang dipasang oleh media. Mereka melihat realitas seperti realitas yang dipahami media. Sadar atau tidak, mereka telah terperangkap oleh pola konstruksi media.

Kata-kata kunci: media massa, konstruksi, realitas, frame, eksternalisa­si, internalisasi, objektivikasi.

Ketika mendapatkan tawaran bertugas mengajar ke Thailand oleh Dekan Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang, saya langsung menerimanya de­ngan senang. Tetapi, ketika saya akan ditempatkan di Thailand Selatan, khusus­nya di Pat­­tani, saya agak ragu. Keraguan ini karena dua sebab. Pertama, berbagai media massa (baik cetak maupun elektronik) sedang gencar memberitakan bebe­ra­pa kejadian di Thailand Selatan, termasuk Pattani, yang terkesan kacau, dan se­cara tidak sadar saya menghubungkan kekacauan itu dengan kekacau­an di Aceh pada era Orde Baru di Indonesia dan peristiwa Gerakan 30 September 1965 PKI (Partai Komunis Indonesia) pada era Orde Lama. Kedua, setiap saat saya mende­ngar perbincangan tentang peristiwa Pattani, yang juga terkesan ka­cau, apalagi di­tambah dengan cerita-cerita dan analisis yang bermacam-macam, yang pada po­kok­­nya adalah di daerah Pattani sedang timbul gejolak.
Keraguan itu tidak menyurutkan niat saya. Saya harus berangkat dengan dibekali nasihat dan saran-saran antisipatif dari beberapa teman yang punya atensi terhadap saya. Ada yang menyarankan agar saya tidak berbicara tentang politik dengan warga Thailand agar saya tidak terjebak oleh pancingan intelejen. Ada juga yang menyarankan agar saya tidak keluar kampus pada malam hari un­tuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.
Pada tanggal yang telah ditetapkan, saya harus meninggalkan Indonesia menuju Thailand. Sesampai di Pattani, keadaan kota sangat ramai lalu-lintas, di kampus penuh kegiatan kuliah, dan toko-toko dipenuhi pembeli. Hari-hari berikut­nya pun ralatif sama. Tetap ramai seperti hari pertama kedatangan saya.
Keadaan yang saya amati ini sungguh bertolak belakang atau berbeda de­ngan kesan atau gambaran yang saya peroleh dari media massa. Kekacauan yang menyelimuti pikiran saya sebelum berangkat ke Thailand tidak saya jumpai. Cerita dari warga Thailand pun tidak saya dengar. Dari sini saya sadar bahwa pemahaman saya tentang Thailand Selatan, termasuk Pattani, dikonstruksi oleh media massa. Media massalah yang menggiring saya sehingga saya mempunyai pemahaman seperti itu tentang Thailand Selatan. Media massa rupanya memak­na­kan realitas (dalam hal ini peristiwa di Pattani) sesuai dengan konstruksinya sendiri. Anehnya, makna itu saya pahami sesuai dengan kehendak media massa. Realitas yang saya tangkap sesuai dengan realitas yang dikehendaki oleh media massa.
Sadar akan betapa kekuasaan media massa mengonstruksi realitas, tulis­an ini disusun. Lewat tulisan ini diharapkan muncul kesadaran – setidak-tidak­nya memahami – bahwa media massa ternyata tidak hanya menginformasikan sesuatu tetapi juga memaknakan sesuatu lewat berita-berita yang disuguhkan kepada khalayak (pembaca atau pendengar).

Berbagai Pandangan tentang Realitas 
Ilustrasi panjang di atas sengaja disampaikan untuk disadari bahwa “reali­tas” peristiwa Pattani yang disampaikan media massa berbeda dengan “realitas” yang sesungguhnya terjadi. Bahkan, mungkin berbeda dengan “realitas” yang di­ke­mas oleh media massa Thailand sendiri. Kalau begitu, apa sebenarnya realitas itu?
Terkait dengan “realitas” ini setidaknya ada tiga teori yang mempunyai pan­dangan yang berbeda, yaitu teori fakta sosial, teori definisi sosial, dan teori kon­struksi sosial. Teori fakta sosial beranggapan bahwa tindakan dan persepsi manu­sia ditentukan oleh masyarakat dan lingkungan sosialnya. Norma, struktur, dan institusi sosial menentukan individu manusia dalam arti luas. Segala tindakan, pe­mi­kiran, penilaian, dan cara pandang terhadap apa saja (termasuk peritiwa yang dihadapi) tidak lepas dari struktur sosialnya. Ia adalah penyambung lidah atau corong stuktur sosialnya. Jadi, realitas dipandang sebagai sesuatu yang eksternal, objektif, dan ada. Ia merupakan kenyataan yang dapat diperlakukan secara objek­tif, karena realitas bersifat tetap dan membentuk kehidupan individu dan masya­rakat. Sementara itu, teori definisi sosial beranggapan sebaliknya. Manusialah yang membentuk perilaku masyarakat. Norma, struktur, dan institusi sosial diben­tuk oleh individu-individu yang ada di dalamnya. Manusia benar-benar otonom. Ia bebas membentuk dan memaknakan realitas, bahkan menciptakannya. Wacana-wacana (discourses) ia cipatakan sesuai dengan kehendaknya. (Lihat Poloma, 1984:308-310). Jadi, realitas dipandang sebagai sesuatu yang internal, subjektif, dan nisbi. Ia merupakan kenyataan subjektif yang bergerak mengikuti dinamika makna subjektif individu.
Kedua teori itu dipandang sangat ekstrem dan masing-masing sangatlah kasual. Teori fakta sosial menafikan eksistensi individu yang mempunyai pikiran, rencana, cita-cita, dan kehendak. Individu seolah sebagai kapas yang geraknya tergantung pada angin sosial. Sebaliknya, teori definisi sosial sangat menonjolkan subjek individu, yang menafikan struktur sosial. Padahal, sebagai makhluk sosial, individu sangat membutuhkan perilaku sosial: penghargaan, prestise, dan kedu­duk­an atau jabatan sosial.  
Menyadari kelemahan kedua teori itu, muncullah teori konstruksi sosial. Teori yang dikembangkan oleh Peter L Berger dan Thomas Luckmann ini ber­pandangan bahwa realitas memiliki dimensi subjektif dan objektif. Manusia meru­pakan instrumen dalam menciptakan realitas yang objektif melalui proses ekster­nalisasi, sebagaimana ia mempengaruhinya melalui proses internalisasi yang men­cerminkan realitas yang subjektif. Dengan demikian, masyarakat sebagai produk manusia, dan manusia sebagai produk masyarakat, yang keduanya ber­langsung secara dialektis: tesis, antitesis, dan sintesis. Kedialektisan ini sekaligus menandakan bahwa masyarakat tidak pernah sebagai produk akhir, tetapi tetap sebagai proses yang sedang terbentuk. Manusdia sebagai individu sosial pun tidak pernah stagnan selama ia hidup di tengah masyarakatnya.
Secara teknis, tesis utama Berger dan Luckmann adalah manusia dan ma­syarakat adalah produk yang dialektis, dinamis, dan plural secara terus-menerus. Ia bukan realitas tunggal yang statis dan final, melainkan merupakan realitas yang bersifat dinamis dan dialektis. Realitas bersifat plural ditandai dengan adanya rela­tivitas seseorang ketika melihat kenyataan dan pengetahuan. Masyarakat adalah produk manusia, namun secara terus-menerus  mempunyaiu aksi kembali terha­dap penghasilnya. Sebaliknya, manusia juga produk masyarakat. Seseorang atau individu menjadi pribadi yang beridentitas kalau ia tetap tinggal dan menjadi entitas dari masyarakatnya. Proses dialektis ini, menurut Berger dan Luckmann (dalam Eriyanto, 2002: 14-19), mempunyai tiga momen, yaitu eksternalisasi, objektivikasi, dan internalisasi.
Eksternalisasi adalah usaha ekspresi diri manusia ke dalam dunia luar, baik kegiatan mental maupun fisik. Momen ini bersifat kodrati manusia. Ia selalu men­cu­­­rahkan diri ke tempat di mana ia berada. Ia ingin menemukan dirinya dalam suatu dunia, dalam suatu komunitas. Dan, inilah yang membedakannya dengan binatang. Sejak lahir, bahkan sejak masa foetal, binatang “sudah menyelesaikan” masa perkembangannya. Tetapi, perkembangan manusia, supaya bisa disebut “manusia”, “belum selesai” pada waktu dilahirkan. Ia perlu berproses dengan cara berinteraksi dengan lingkungan dan mereaksinya terus-menerus baik fisik maupun nonfisik, sampai ia remaja, dewasa, tua, dan mati. Artinya, selama hidup manusia selalu menemukan dirinya dengan jalan mencurahkan dirinya dalam dunia. Sifat “belum selesai” ini dilakukan terus-menerus dalam rangka menemukan dan mem­bentuk eksistensi diri (Lihat Mursanto, 1993:227). 
Objektivikasi adalah hasil yang telah dicapai baik mental maupun fisik dari kegiatan eksternalisasi manusia. Hasilnya berupa realitas objektif yang terpisah dari dirinya. Bahkan, realitas objektif yang dihasilkan berpotensi untuk “berhadap­an” (bahkan mengendalikan) dengan si penghasilnya. Misalnya, dari kegiatan eks­ternalisasi manusia menghasilkan alat demi kemudahan hidupnya: cangkul untuk meningkatkan pengolahan pertanian atau bahasa untuk melancarkan komunikasi. Kedua produk itu diciptakan untuk menghadapi dunia. Setelah dihasilkan, kedua produk itu menjadi realitas yang objektif (objektivikasi). Ia menjadi dirinya sendiri, terpisah dengan individu penghasilnya. Bahkan, dengan “logika”-nya sendiri, ia bisa memaksa penghasilnya. Realitas objektif cangkul bisa menentukan bagai­mana petani harus mengatur cara kerjanya. Ia secara tidak sadar telah didikte oleh cangkul yang diciptakannya sendiri. Begitu juga bahasa. Cara berpikir manusia akhirnya ditentukan oleh bahasa yang diciptakannya sendiri. Bahkan, mereka bisa bersengketa dan perang karena bahasa. Realitas objektif ini berbeda dengan ke­nyataan subjektif individual. Realitas objektif menjadi kenyataan empiris, bisa di­alami oleh setiap orang dan kolektif.
Internalisasi adalah penyerapan kembali dunia objektif ke dalam kesadaran subjektif sedemikian rupa sehingga individu dipengaruhi oleh struktur sosial atau dunia sosial. Berbagai macam unsur dari dunia yang telah terobjektifkan tersebut akan ditangkap sebagai gejala realitas di luar kesadarannya, dan sekaligus seba­gai gejala internal bagi kesadaran. Melalui internalisasi ini, manusia menjadi pro­duk masyarakat. Salah satu wujud internalisasi adalah sosialisasi. Bagaimana suatu generasi menyampaikan nilai-nilai dan norma-norma sosial (termasuk bu­daya) yang ada kepada generasi berikutnya. Generasi berikut diajar (lewat berba­gai kesempatan dan cara) untuk hidup sesuai dengan nilai-nilai budaya yang me­warnai struktur masyaraklatnya. Generasi baru dibentuk oleh makna-makna yang telah diobjektivikasikan. Generasi baru mengidentifikasi diri dengan nilai-nilai ter­sebut. Mereka tidak hanya mengenalnya tetapi juga mempraktikkannya dalam se­gala gerak kehidupannya. (Lihat Eriyanto, 2002:15).
Berger dan Luckmann berpandangan bahwa realitas tidak dibentuk secara ilmu, juga tidak diturunkan oleh Tuhan. Sebaliknya, realitas itu dibentuk dan dikon­struksi manusia. Pemahaman ini menyiratkan bahwa realitas berpotensi berwajah ganda dan plural. Setiap orang bisa mempunyai konstruksi yang berbeda-beda atas suatu realitas. Setiap orang yang mempunyai pengalaman, preferensi, tingkat pendidikan, lingkungan atau pergaulan sosial tertentu akan menafsirkan atau me­maknakan realitas berdasarkan konstruksinya masing-masing. Misalnya, peristiwa demonstrasi mahasiwa yang marak di Indonesia pada tahun 1997 dimaknakan atau ditafsirkan berbeda-beda oleh beberapa kelompok atau kalangan. Kelompok tertentu mengonstruksi demonstrasi mahasiswa sebagai tindakan anarkis, di luar batas, mengganggu ketenteraman masyarakat, dan sebagai alat permainan elit politik tertentu. Tetapi, pada saat yang bersamaan, kelompok lain mengonstruksi demonstrasi mahasiswa sebagai tindakan untuk memperjuangkan nasib rakyat, dan berjuang tanpa pamrih demi kepentingan rakyat. Kedua konstruksi yang ber­beda tersebut dilengkapi dengan legitimasi tertentu, sumber kebenaran tertentu, bahwa yang mereka katakan dan mereka percayai itu adalah benar adanya, dan punya dasar atau bukti yang kuat.
Selain plural, realitas (sebagai produk konstruksi) juga bersifat dinamis. De­monstrasi mahasiswa (sebagai produk dari konstruksi sosial) selalu terjadi dalam dialektika sosial. Dalam level atau tingkat individu, dialektika berlangsung antara faktisitas objektif dan makna subjektif demonstrasi mahasiswa bagi individu. Da­lam level atau tingkat sosial, pluralitas konstruksi terhadap demonstrasi mahasis­wa mengalami proses dialektika juga. Sebagai produk dari konstruksi sosial, reali­tas tersebut merupakan realitas subjektif dan realitas objektif sekaligus. Dalam realitas subjektif, realitas tersebut menyangkut makna, interpretasi, dan hasil relasi antara individu dan objek. Setiap individu mempunyai latar belakang (back ground) sejarah, pengetahuan, dan lingkungan berbeda-beda, yang bisa menghasilkan pe­nafsiran yang berbeda pula ketika melihat dan berhadapan dengan objek. Sebalik­nya, realitas juga mempunyai dimensi objektif, yaitu sesuatu yang dialami, bersifat eksternal, dan berada di luar diri individu. Dalam kasus demonstrasi mahasiswa, misalnya, sebagai realitas objektif, gerakan mahasiswa memang ada. Kita bisa menyaksikannya. Ia berada di luar diri kita. Kita bisa membaca selebaran (pamflet) yang dibawanya dan disebarkan di jalan-jalan, kita bisa melihat dan mendengar­kan bagaimana mahasiswa berorasi di depan gedung DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) di pusat Jakarta dan di daerah, dan sebagainya. Dalam perspektif kon­struksi sosial, kedua realitas tersebut (realitas subjektif dan realitas objektif) saling berdialektika. Seseorang akan mencurahkan ketika bersinggungan dengan Kenya­taan (eksternalisasi), dan sebaliknya ia juga akan dipengaruhi oleh kenyataan ob­jek­tif yang ada (internalisasi).
Itulah berbagai pandangan tentang realitas. Lalu, bagaimana dengan re­alitas dalam konteks berita yang disampaikan oleh media massa? Berita dalam media massa tidak bisa disamakan dengan fotokopi dari realitas, ia harus dipan­dang sebagai hasil konstruksi dari realitas. Karena itu, peristiwa yang sama ber­potensi dikonstruksi secara berbeda oleh beberapa media massa. Wartawan atau jurnalis bisa jadi mempunyai pandangan dan konsepsi yang berbeda ketika meli­hat suatu peristiwa atau kejadian, yang terwujud dalam teks berita. Realitas bukan dioper begitu saja menjadi berita. Realitas adalah produk interaksi antara warta­wan dan fakta. Dalam proses internalisasi, realitas diamati oleh wartawan dan di­serap dalam kesadaran waratawan. Dalam proses eksternalisasi, wartawan men­ceburkan dirinya untuk memahami realitas. Konsepsi tentang fakta diekspresikan untuk melihat realitas. Dengan demikian, teks berita yang kita baca di surat kabar atau kita dengar di televisi atau radio adalah produk dari proses interaksi dan di­alektika tersebut. Misalnya, peperangan antara tentara Irak dan tentara Amerika Serikat yang berakhir dengan kejatuhan rezim Saddam Husein yang lalu. Yang per­tama mungkin terjadi eksternalisasi. Wartawan yang datang ke daratan Irak mempunyai kerangka pemahaman dan konsepsi tersendiri tentang peperangan antara tentara Irak dan Amerika Serikat. Ada yang melihat peperangan di Irak se­ba­gai kepentingan Amerika Serikat untuk menunjukkan adi kuasa atau super power-nya. Ada yang melihat peperangan di Irak sebagai konflik internal rezim Saddam dan kelompok penentangnya. Ada juga yang melihat peperangan di Irak sebagai buah dari kediktatoran Saddam sendiri atas rakyatnya. Berbagai skema dan pemahaman itu dipakai untuk menjelaskan peritiwa dan fenomena yang terjadi di Irak. Proses selanjutnya adalah internalisasi. Ketika wartawan berada di Irak, ia melihat banyak peristiwa. Ada rumah-rumah penduduk yang terbakar oleh roket Amerika, ada ratusan mayat berserakan di jalan, ada patung Saddam yang diro­boh­kan oleh tentara Amerika yang dibantu oleh rakyat Irak, dan berbagai peristiwa lain. Berbagai peristiwa tersebut diinternalisasi dengan cara dilihat dan diobservasi wartawan. Terjadilah proses dialektika antara apa yang ada dalam pikiran warta­wan dengan apa yang dilihatnya. Akhirnya, terjadilah teks berita. Oleh karena itu, berita adalah hasil dari interaksi antara kedua proses tersebut.
Berdasarkan gambaran itu, bagaimana posisi khalayak pembaca atau pen­dengar berita? Pertanyaan ini bisa terjawab dengan ilustrasi berikut. Tuckman (1978:1) lewat bukunya yang berpengaruh Making News menyatakan bahwa “berita adalah jendela dunia”. Melalui berita, kita mengetahui apa yang terjadi di Indonesia, di Malaysia, di Thailand, bahkan di Irak dan di Lebanon. Melalui berita, kita mengetahui apa saja yang dilakukan elit politik di Jakarta, di Kuala Lumpur, di Bangkok, bahkan di New York dan di Tokyo. Tetapi, apa yang kita lihat, apa yang kita ketahui, dan apa yang kita rasakan mengenai dunia itu tergantung pada jende­la yang kita pakai. Jendela itu berukuran besan atau kecil. Jendela yang besan akan membantu kita memandang dunia lebih luas; sebaliknya jendela yang kecil akan membatasi pandangan kita. Selain itu, apakah jendela itu berjeruji atau tidak. Apakah jendela itu bisa dibuka lebar atau hanya bisa dibuka setengah. Apakah lewat jendela itu kita bisa melihat secara bebas ke luar, ataukah hanya bisa meng­intip di balik jeruji. Atau, apakah di depan jendela itu ada pohon yang menghalangi penglihatan kita atau tidak. Ternyata, posisi kita sangat tergantung pada jendela. Dalam berita, jendela itulah yang disebut frame atau bingkai (Lihat Durham, 1998; Entman, 1993; Fisher, 1997).
Terkait dengan frame atau bingkai ini, Said (1981) pernah memberikan kritik tajam bagaimana Islam dilihat dalam jendela Barat. Menurut Said, media-media Barat menggambarkan Islam dengan pandangan yang ortodoks. Islam digambar­kan dengan kekerasan, dengan tradisional. Media banyak mewawancarai orang yang itu-itu saja, pakar yang itu-itu saja, dan dengan pandangan yang negatif te­rus-menerus. Islam identik dengan potong tangan atau hukum rajam yang tidak manusiawi dan teroris. Islam bagi masyarakat Barat identik dengan Timur Tengah. Secara geografis khalayak Barat merasakan sangat jauh, walaupun hanya lewat imajinasi. Stereotip tentang Islam demikian ini terbentuk karena mereka hanya melihat satu frame, yaitu jendela Barat, yang mereka peroleh lewat berita.

Kinerja Media Massa
Terkait dengan media massa ini, paradigma Peter D. Moss (1999) cukup menarik untuk disimak. Ia mengatakan bahwa wacana media massa merupakan konstruk kultural yang dihasilkan oleh ideologi. Karena itu, berita dalam media massa menggunakan frame atau kerangka tertentu untuk memahami realitas so­sial. Lewat narasinya, media masaa menawarkan definisi-definisi tertentu menge­nai kehidupan manusia: siapa pahlawan dan siapa penjahat, apa yang baik dan apa yang buruk bagi rakyat, apa yang patut dan apa yang tidak patut dilakukan seorang elit, pemimpin, atau penguasa; tindakan apa yang disebut perjuangan, pemberontakan, terorisme, pengkhianat; isu apa yang televan atau tidak; dan so­lusi apa yang harus diambil dan ditinggalkan. Bagi Moss, ideologi merupakan se­perangkat asumsi budaya yang menjadi “normalitas alami dan tidak pernah diper­soalkan lagi”. Pandangan ini sejalan dengan hipotesis Sapir-Whorf yang dikenal dalam linguistik bahwa bahasa itu tidak sekedar deskriptif, yaitu sebagai sarana untuk melukiskan suatu fenomena atau lingkungan, tetapi juga dapat mempenga­ruhi cara kita melihat lingkungan (Lihat Infante, 1990: 199). Implikasinya, bahasa juga dapat digunakan untuk memberikan aksentuasi tertentu terhadap suatu peris­tiwa atau tindakan, misalnya dengan jalan menekankan, mempertajam, memper­lem­but, mengagungkan, melecehkan, membelokkan, atau mengaburkan peristiwa atau tindakan.
Terkait dengan media massa sebagai sarana komuniukasi massa ini, sela­ma ini ada dua pandangan, yaitu pandangan positivisme[1] dan pandangan kon­struk­­ti­visme[2]. Bagaimana fungsi media massa, bagaimana isi dan sifat berita, ba­gaimana peristiwa disajikan, dan bagaimana tugas wartawan, dipahami secara berbeda oleh kedua pandangan tersebut.

Fungsi Media Massa
Pandangan konstruksivisme memahami tugas dan fungsi media massa ber­beda dengan pandangan positivisme. Dalam pandangan positivisme, media mas­sa dipahami sebagai alat penyaluran pesan. Ia sebagai sarana bagaimana pesan disebarkan dari komunikator (wartawan, jurnalis) ke khalayak (pendengar, pemba­ca). Media massa benar-benar sebagai alat yang netral, mempunyai tugas utama penyalur pesan. Tidak ada maksud lain. Kalau media tersebut menyampaikan suatu peristiwa atau kejadian, memang itulah yang terjadi. Itulah realitas yang sebenarnya. Tidak ditambah dan tidak dikurangi.
Dalam pandangan konstruktivisme, media massa dipahami sebaliknya. Media massa bukan hanya saluran pesan, tetapi ia juga subjek yang mengonstruksi realitas, lengkap dengan pandangan, bias, dan pemihakannya. Di sini me­dia massa dipandang sebagai agen konstruksi sosial yang mendefinisikan realitas. (Lihat Bennett, 1982: 287-288; Hidayat, 1999: 20). Pandangan ini menolak argu­men yang menyatakan bahwa media sebagai tempat saluran bebas. Berita yang kita baca dan kita dengar dari media bukan hanya menggambarkan relitas, bukan hanya menunjukkan sumber berita, tetapi juga konstruksi dari media itu sendiri. Lewat berbagai instrumen yang dimilikinya, media ikut membentuk realitas yang terkemas dalam pemberitaan. Peristiwa kerusuhan di Maluku (Indonesia), missal­nya, selalu diberitakan sebagai konflik antar-agama. Hal itu bukan menunjukkan realitas yang sebenarnya, tetapi juga menggambar bagaimana media ikut berpe­ran dalam mengonstruksi realitas. Apa yang kita baca dan kita dengar setiap hari adalah produk dari pembentukan realitas oleh media. Media adalah agen yang secara aktif menafsirkan realitas untuk disajikan kepada khalayak.
Dengan cara apa media mengonstruksi realitas? Media memilih kejadian mana yang patut diekspos sebagai bahan berita dan mana yang tidak patut. Da­lam peristiwa Maluku, misalnya, bisa jadi yang dipilih atau diekspos hanya pem­bakaran tempat-tempat ibadah, sementara kerukunan antar pemeluk agama yang ada tidak diekspos. Media juga memilih orang atau tokoh sebagai sumber berita berdasarkan kriterianya sendiri sehingga hasil pemberitaannya pun cenderung sepihak. Dengan demikian, media bukan hanya memilih peritiwa dan menentukan sumber berita, melainkan juga mendefinisikan peristiwa dan sumber berita. Lewat pemberitaan, media dapat membingkai peristiwa dengan bingkai tertentu. Peristi­wa yang telah terbingkai inilah yang didengar dan dibaca khalayak. Khalayak tidak dapat melihatnya dari bingkainya sendiri.

Isi dan Sifat Berita 
 Dalam pandangan positivisme, berita adalah informasi. Ia dihadirkan kepa­da khalayak sebagai representasi dari kenyataan. Kenyataan itu ditulis kembali dan ditransformasikan lewat berita. Berita dipandang sebagai mirror of reality, ka­renanya ia harus mencerminkan realitas yang hendak diberitakan. (Hallin dan Man­cini, 1985:205). Jadi, berita benar-benar linier dan lepas dari kepentingan ter­tentu. Tetapi, dalam pandangan konstruktivisme, berita itu ibarat sebuah drama. Ia tidak menggambarkan realitas, tetapi potret dari arena atau panggung pertarungan dari berbagai pihak yang berkaitan dengan peristiwa. Carey (1989: 21) mengata­kan demikian.
“News is not information but drama. It does not describe the world but potrays an arena of dramatic forces and action; it exists solely in historical time; and it invites our participation on the basis of our assuming, often vicariously, social roles within it.”
Misalnya, peristiwa di Libanon yang saat ini menjadi perhatian dunia. Media massa secara aktif menugaskan wartawan dan krunya ke tempat kejadian. Mereka secara aktif membentuk realitas seperti layaknya sebuah drama. Mereka yang setuju dan yang tidak setuju dengan peritiwa itu dipertentangkan. Lalu dibumbui dengan anali­sis dari berbagai pihak, tokoh yang terlibat, pakar politik, dan beberapa kepala Ne­ga­ra. Tidak cukup itu. Wartawan masih mendefinisikan siapa-siapa yang dianggap pahlawan (hero) dan siapa-siapa yang dianggap pengkhianat. Semua itu dikemas dalam berita bagaikan drama yang dipertontonkan kepada khalayak. Kita disuguhi adegan berdasarkan frame media.
Dari sini kita bisa memahami bahwa berita tidak pernah vakum dari kepen­tingan. Berita adalah hasil dari konstruksi sosial yang selalu melibatkan pandang­an, ideologi, dan nilai-nilai. Bagaimana realitas itu dijadikan berita sangat tergan­tung pada bagaimana fakta itu dipahami dan dimaknai (Lihat Schudson, 1991: 141-142). Proses pemaknaan selalu melibatkan nilai-nilai tertentu sehingga mus­tahil berita merupakan pencerminan dari suatu realitas. Peristiwa yang sama bisa menghasilkan berita yang berbeda karena ada perbedaan cara melihat atau cara membingkai. Perbedaan relitas yang sesunggguhnya dalam berita  tidak dianggap salah; tetapi sebagai suatu kewajaran. Yang penting, kita (sebagai khalayak penik­mat berita) menyadarinya.
Oleh karena itu, apabila kita menanyakan “Bagaimana berita yang baik?” pada dasarnya kita terjebak pada pandangan positivisme. Kita sering menuntut bahwa berita sebaiknya berimbang, liputan dua sisi, netral, dan objektif.[3] Teori jurnalistik pun memberikan petunjuk (guide) seperti itu. Tetapi, dalam praktiknya, sulit diterapkan. Praktik jurnalistik berbeda dengan teori jurnalistik. Hal ini karena media massa –  lewat wartawan dan krunya – tidak bisa lepas dari konteks sosial yang dihadapinya.

Fungsi dan Tugas Wartawan 
Kalau begitu, bagaimana fungsi dan tugas wartawan atau jurnalis? Dalam pandangan positivisme, berita dilihat sebagai pencerminan realitas. Curran (1996: 120) mengatakan “pesan adalah realitas itu sendiri”. Dengan demikian, seorang wartawan yang baik adalah wartawan yang mampu memindahkan realitas itu ke dalam berita. Wartawan dituntut mampu bekerja secara professional, katanya. Ia harus bisa menyingkirkan keberpihakan dan pilihan moral sehingga apa yang di­ungkapkan dalam berita murni fakta, bukan penilaian individu sang wartawan. War­tawan seperti layaknya seorang pengamat (obsever). Ia hanya bertugas mem­berikan atau mentransfer apa yang dia lihat dan apa yang dia rasakan di lapangan. Karena itu, wartawan harus bisa berfungsi sebagai pemulung yang netral, yang mengambil fakta di lapangan ada adanya, tidak ditambah dan tidak dikurangi. Glasser mengatakan (1999: 191):
“What remains fundamentally unchanged is the journalist’s naively empirical view of the world, a belief in the separation of fact and values, a belief in the existence of reality – the reality of empirical facts. Nowhere is this belief more evident than when news is defined as something external to – and independent of – the journalist.
Dengan demikian, realitas yang dilaporkan wartawan sama dengan realitas yang sesungguhnya. Sebagai pelapor, ia harus mengambil jarak dengan objek yang diliput. Adanya jarak ini akan membantu wartawan mendapatkan fakta apa adanya. Adanya jarak ini juga akan membatasi kemungkinan subjektivitas personal yang bermain ketika meliput peristiwa. Dengan cara inilah, sesuai dengan pandangan positivisme, objektrivitas pemberitaan bisa diperoleh.
Pandangan konstruktivisme tidaklah demikian. Wartawan dipandang seba­gai aktor atau agen konstruksi. Wartawan bukan hanya melaporkan fakta atau pe­ristiwa,  tetapi juga ikut terlibat dalam pendefinisian fakta atau peristiwa. Sebagai aktor sosial, wartawan bukan pemulung yang mengambil wakta begitu saja. Kare­na dalam kenyataannya tidak ada realitas yang bersifat eksternal dan objektif yang berada di luar diri wartawan. Sebaliknya, realitas itu dibentuk dan diproduksi mele­wati proses konstruksi yang dilakukan wartawan. Lewat pemahaman dan pemak­na­an subjektif wartawanlah, realitas itu muncul. Seperti dikatakan Lichtenberg, realitas hasil konstruksi itu selalu terbentuk melalui konsep dan kategori yang kita buat (dalam hal ini wartawan). Kita tidak dapat melihat dunia tanpa kategori, tanpa konsep. Redaksi Lichtenberg (1991: 219) sebagai berikut:
“The methaphysical idealist denies that we can know what the world is like intrinsically, apart from a perspective. The world is our construction in the sense that we inevitably encounter it through our concepts and our categories; we cannot see the world concept – or category – free.”
Artinya, kalau seorang wartawan menulis berita, ia sebetulnya membuat dan mem­bentuk dunia, membentuk realitas. Ia tidak mungkin mengambil jarak dengan objek yang akan diliput (Lihat Hartley, 1990:13).  Mengapa demikian? Karena ketika ia meliput suatu pewristiwa dan menuliskannya, ia secara sengaja atau tidak meng­gunakan dimensi persepsualnya. Ketika ia membuat berita, ia sebetulnya telah men­jalin transaksi dan hubungan dengan objek yang diliputnya. Dengan demikian, berita pada dasarnya adalah produk dari transaksi antara wartawan dan fakta yang ia liput, antara waratawan dan sumber berita. Secara jelas Ericsson (dalam Tuck­man, 1988: 87) mengatakan:
“News is product of transaction between journalists and their sources. The primary source of reality for news is not what is displayed or what happens in the real world. The reality of news is embedded in the nature and type of social and their sources, and in the politics of knowledge that emerges on each spesific newsbeat.”  (Lihat juga Comfield, 1992: 48)
Konsekuensi logis dari agen konstruksi realitas adalah etika, pilihan moral, dan keberpihakan wartawan merupakan bagian yang integral dan inheren dalam produksi berita. Walaupun pandangan positivisme menghendaki agar hal itu dihin­dari oleh wartawan, tetapi dalam kenyataannya tidaklah mungkin dihilangkan. War­tawan bukanlah robot yang bekerja seperti mesin elektronik. Wartawan mempu­nyai pengetahuan, pengalaman, motivasi, keinginan, dan hal-hal lain yang berbau subjektif, yang tidak mungkin bisa dilepaskan ketika berhadapan dengan fakta so­sial. Bahkan, lebih radikal lagi, ia mempunyai preferensi dalam proses kerjanya. Ia bukan dengan cara: melihat, menyimpulkan, dan menulis; tetapi lebih sering terjadi: menyimpulkan, lalu melihat fakta apa yang ingin dikumpulkan di lapangan. Terkait dengan ini, Lippman (1992: 162) mengatakan: 
 “For the most part we do not first see, and then define; we define first and then see. In the great blooming, buzzing onfusion of the outer world we pick out what our culture has already defined for us, and we tend to perceive that which we have picked out in the form stereotyped for us by our culture.”
Di sini jelaslah bahwa wartawan tidak bisa menghindarkan diri dari kemungkinan subjektivitas. Ia memilih fakta yang ingin ia pilih, dan membuang fakta yang ingin ia buang.

Penutup 
Uraian di atas menyadarkan kita, betapa besar kekuasaan media massa mengonstruksi realitas. Kita setiap hari disuguhi berita hasil konstruksi media. Be­rita hasil pemaknaan media atas dunia. Kita mengetahui dunia hanya lewat jendela atau frame yang dipasang media. Padahal, jendela itu mungkin sempit, berjeruji, dan di depannya ada pohon penghalang. Anehnya, dunia yang kita lihat sering kita anggap sebagai dunia yang sebenarnya. Kita sering berdiskusi, berargumentasi, berdebat, bahkan bertengkar berdasarkan pemahaman kita terhadap dunia hasil konstruksi media.

Daftar Rujukan 
Bennett, Tonny. 1982. “Media, Reality, Signification.” Dalam Michael Gurevitch, Ton­ny Bennett, dan James Wollacott (ed.). Culture, Society and the Media. London: Methuen.
Carry, James W. 1989. Communication as Culture: Essays on Media and Society. Boston: Unwin Hyman.
Cornfield, Michel B. 1992. “The Press and Political Controversy: The Case for Nar­ra­tive Analysis.” Political Communication. Vol. 9. No.1.
Curran, James. 1996. “Rethinking Mass Communication.” Dalam James Curran, Da­­vid Morley, dan Valerie Walkerdine (ed.). Cultural Studies and Communi­ca­­tion. London: Arnold.
____________. 1996. “The New Revisionism in Mass Comuniation Research: A Reappraisal.” Dalam James Curran, David Morley, dan Valerie Walkerdine (ed.). Cultural Studies and Communication. London: Arnold.
Durham, Frank D. 1998. “News Frames as Social Narrative: TWA Flight 800.” Jour­­nal of Communication. Vol. 48. No. 4.
Entman, Robert M. 1993. “Framing: Toward Clarification of a Fractured Paradigm.” Political Communication. Vol. 43. No. 4.
Eriyanto. 2002. Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media. Yogya­karta: LKiS Yogyakarta.
Fisher, K. 1997. “Locating Frames in The Discursive Universe.” Sociological Re­search Online. Vol. 2. No. 3. Diambil dari: http://www.socresonline.org.uk/ 2/3/4.html.
Glasser, Theodore L. 1999. “Objectivity and News.” Dalam Howard Tamber (ed.). News: A Reader. Oxford: Oxford University Press.
Hallin, Daniel C. dan Paolo Mancini. 1985. “Speaking of the President.” Dalam Mi­chel Gurevitch dan Mark R. Ley (ed.). Mass Communication Review Year­book. Vol 4.
Hartley, John. 1990. Understanding News. London and New York: Routledge.
Hidayat, Dedy N. 1999. “Paradigma dan Perkembangan Penelitian Komunikasi.” Jurnal Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia. Vol. 3. April.
______________. 1999. “Politik Media, Politik Bahasa dalam Proses Legitimasi dan Delegitimasi Rezim Orde Baru.” Dalam Sandra Kartika dan M. Mahendra (ed.). Dari Keseragaman: Wacana Multikultural dalam Media. Jakarta: LSPP.
Infante, Dominic A., Andrew S Rabcer, and Deanna F. Womack. 1990. Building Communication Theory. Prospect Heights, IL., Waveland.
Lichtenberg, Judith. 1991. “In Defense of Objectivity.” Dalam James Curran dan Michael Gurevich (ed.). Mass Media and Society. London: Edward Arnold.
Lippman, Walter. 1992. “Stereotype, Public Opinion, and the Press.” Dalam Elliot D. Cohen (ed.). Philosophical Issues in Journalism. New York: Oxford University Press.
Moss, Peter D. 1999. “Conflict and Containment in Television News: A Case Stu­dy”. Dalam Mary S. Mander (ed.). Framing Friction. Urbana: University of Illinois Press.
Mursanto, RB Riyo. 1993. “Peter Berger Realitas Sosial Agama.” Dalam Tim Re­daksi Driyarkara (ed.). Diskursus Kemsyarakatan dan Kemanusiaan. Jakarta: Gramedia.
Poloma, Margaret M. 1984. Sosiologi Kontemporer. Jakarta: CV Rajawali.
Said, Edward W. 1981. Covering Islam: How The Media and The Expert Determine: How We See the Rest of The World. New York: Pantheon Books.
Schudson, Michael. 1991. “The Sociology of News Production Revisited.” Dalam James Curran dan Michael Gurevitch (ed.). Mass Media and Society. London: Edward Arnold.
Tuchman, Gaye. 1978. Making News: A Study in the Construction of Reality. New York: The Free Press.
_____________. 1988. “Qualitative Methods in the Study of News.” Dalam Klaus Bruhn Jensen dan Nicholas W. Janskowski (ed.). A Hanbook of Qualitative Methodologies for Mass Communication Research. London and New York: Routledge.







[1] Pandangan positivisme telah lama mendominasi dunia ilmiah, khususnya studi ilmu-ilmu sosial. Di Barat pandangan ini sudah mulai ditinggalkan setelah mengalami kejayaan pada tahun 1970-an. Mereka menggantikan dengan pandangan alternatif, seperti fenomenologi, etnometodologi, interaksionisme simbolik, dramaturgi, hermeneutika, semiotik, teori feminisme, teori kritis, teori konstruktivisme, dan sebagainya. Di Indonesia, mungkin saja di sebagian besar Negara Asia, kajian ilmu-ilmu sosial masih belum meninggalkan pandangan positivisme. Dalam bidang komunikasi, model-model kajian komunikasi linier seperti yang ditawarkan Carl Hovland, Wilbur Schramm, Horald Laswell, Claude Shannon dan Warren Weaver, David Berlo, dan George Gerbner, masing sangat dominan dan mewarnai kajian mereka
[2] Pandangan konstruktivisme dikembangkan dari teori sosial yang digagas oleh George Herbert Mead, Herbert Blumer, Alfred Schutz, Horald Grafinkel, Peter L. Berger, dan Thomas Luckmann, walaupun secara eksplisit mereka tidak menggunakan konsep-konsep komunikasi yang lazim digunakan dalam model komunikasi linier. Pada prinsipnya merteka beranggapan bahwa bahasa sebagai sarana komunikasi tidak berada dalam vakum sosial. (Lihat Poloma, 1984).
[3] Peliputan yang berimbang adalah penampilan pandangan yang setara antara pihak-pihak yang terlibat, baik yang pro maupun yang kontra.
Peliputan dua sisi adalah pemberian kesempatan yang sama bagi semua pihak untuk menyampaikan pendangan dan pendapatnya atas suatu masalah.
Prinsip netral berarti dalam penulisan maupun pencarian bahan, wartawan tidak boleh memihak pada kelompok tertentu.
Prinsip objektif adalah peliputan apa adanya, tidak ditambah dan tidak dikurangi, dan tidak memasukkan opini pribadi ke dalam pemberitaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar