Minggu, 26 September 2010

Pendidikan Karakter: Apa, Mengapa, dan Bagaimana

Oleh Masnur Muslich

Dalam acara temu wicara siswa SMK/SMA se-Bekasi di SMA negeri 1 Bekasi, Men­diknas Muhammad Nuh menegaskan bahwa pendidikan karakter itu ibarat basis bilangan dalam matematika. "Berusahalah bagaimana mengubah dari angka 1/2 menjadi 2," ung­kap­nya lebih lanjut. Bagaimana caranya? "Angkat setengah (1/2) jika dipangkatkan dengan angka yang semakin besar, maka hasilnya makin kecil. Sebaliknya, jika angka 2 dipangkat­kan, semakin besar pangkat maka semakin besar juga hasilnya," ungkap Nuh. Hal itu me­nan­dakan bahwa yang perlu ditingkatkan bukan pangkatnya, melainkan basis bilangannya. Menurutnya, hal itu sama dengan filosofi hidup dalam men­capai kesuksesan. "Jadi, anak-anakku yang perlu ditingkatkan bukan pangkatnya, tapi basis bilangan, yakni karakter pri­ba­dinya," lanjut Nuh lebih lanjut (Media Indonesia, Jumat, 19/3/2010).
Mendiknas mengingatkan pentingnya pengembangan karakter pribadi sebagai ba­sis untuk mencapai sukses. Meski dianggap penting dan sering didengungkan, sampai seka­rang tidak ada wujud nyata berupa kebijakan dalam dunia pendidikan berkaitan dengan pendidikan karakter. Kita tentu sepakat dengan Mendiknas bahwa pendidikan karakter itu perlu. Tapi pertanyaannya, lalu apa? Bagaimana tindak lanjutnya?
Apa hakikat karakter?
Menurut Simon Philips dalam Buku Refleksi Karakter Bangsa (2008:235), karak­ter adalah kumpulan tata nilai yang menuju pada suatu sistem, yang melandasi pemikiran, sikap, dan perilaku yang ditampilkan. Sementara itu, Koesoema A (2007:80) menyatakan bahwa ka­rakter sama dengan kepribadian. Kepribadian dianggap sebagai ”ciri atau karakteristik atau gaya atau sifat khas dari diri seseorang yang bersumber dari bentukan-bentukan yang dite­rima dari lingkungan, misalnya keluarga pada masa kecil dan juga bawaan seseorang sejak lahir.” Prof. Suyanto, Ph.D menyatakan bahwa karakter adalah cara berpikir dan berperi­laku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerjasama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Individu yang berkarakter baik adalah individu yang bisa membuat keputusan dan siap mempertanggungjawabkan tiap akibat dari kepu­tus­an yang ia buat. Imam Ghozali menganggap bahwa karakter lebih dekat dengan akhlak, yaitu spontanitas manusia dalam bersikap, atau perbuatan yang telah menyatu dalam diri manusia sehingga ketika muncul tidak perlu dipikirkan lagi. Dengan demikian, karakter bang­sa sebagai kondisi watak yang merupakan identitas bangsa.
Winnie (yang juga dipahami oleh Ratna Megawangi, 2007) menyampaikan bahwa istilah karakter diambil dari bahasa Yunani yang berarti ‘to mark’ (menandai). Istilah ini lebih fo­kus pada tindakan atau tingkah laku. Ada dua pengertian tentang karakter. Pertama, ia me­nunjukkan bagaimana seseorang bertingkah laku. Apabila seseorang berperilaku tidak jujur, kejam, atau rakus, tentulah orang tersebut memanifestasikan perilaku buruk. Seba­liknya, apabila seseorang berperilaku jujur, suka menolong, tentulah orang tersebut memanifesta­si­kan karakter mulia. Kedua, istilah karakter erat kaitannya dengan ‘personality’. Sese­orang baru bisa disebut ‘orang yang berkarakter’ (a person of character) apabila ting­kah lakunya sesuai kaidah moral. Sementara itu, definisi karakter menurut Victoria Neufeld & David B. Guralnik (dalam Raka, 2007) adalah ‘distinctive trait, distinctive quality, moral strength, the pattern of behavior found in an individual or group’. Kamus Besar Bahasa Indonesia belum memasukkan kata karakter, yang ada adalah kata ‘watak’ yang diartikan sebagai sifat batin manusia yang mempengaruhi segenap pikiran dan tingkah laku; budi pekerti; tabiat.
Dari berbagai pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa karakter itu berkait­an dengan kekuatan moral, berkonotasi ‘positif’, bukan netral. Jadi, ‘orang berkarakter’ adalah orang yang mempunyai kualitas moral (tertentu) positif. Dengan demikian, pen­didikan ada­lah membangun karakter, yang secara implisit mengandung arti memba­ngun sifat atau po­la perilaku yang didasari atau berkaitan dengan dimensi moral yang positif atau yang baik, bukan yang negatif atau yang buruk. Hal ini didukung oleh Peter­son dan Seligman (Raka, 2007:5) yang mengaitkan secara langsung ’character strength’ dengan kebajikan. Character strength dipandang sebagai unsur-unsur psikologis yang membangun kebajikan (virtues). Salah satu kriteria utama dari ‘character strength’ adalah karakter tersebut berkontribusi besar dalam mewujudkan sepenuhnya potensi dan cita-cita seseorang dalam membangun kehidupan yang baik, yang bermanfaat bagi dirinya dan bagi orang lain.
Menurut Prof. Wuryadi, sebenarnya pembangunan karakter bangsa mulai diku­man­dangkan sejak awal negara ini lahir. Tetapi, program ini belum selesai karena banyak pihak-pihak yang merasa dirugikan. Indonesia dengan kekayaan alamnya akan sulit dikuasai manakala bangsanya memiliki karakter yang kuat. Oleh karena itu, kon­disi bangsa kita di­buat semakin tajam krisis karakternya. Menurut Raka (2007), krisis karakter bangsa kita disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut:
a.      Terlampau terlena oleh Sumber Daya Alam yang melimpah.
b.      Pembangunan ekonomi yang terlalu bertumpu pada modal fisik.
c.       Surutnya idealisme, berkembangnya pragmatisme ‘overdoses’.
d.      Kurang berhasil belajar dari pengalaman bangsa sendiri
Selain memperkecil resiko kehancuran, karakter juga menjadi modal yang sa­ngat penting untuk bersaing dan bekerja sama secara tangguh dan terhormat di te­ngah-tengah bangsa lain. Karakterlah yang membuat bangsa Jepang cepat bangkit sesudah kekalahan­nya dalam Perang Dunia II dan meraih kembali martabatnya di dunia internasional. Karak­terlah yang membuat bangsa Vietnam tidak bisa ditaklukkan, bahkan mengalahkan dua bang­sa yang secara teknologi dan ekonomi jauh lebih maju, yaitu Perancis dan Amerika. Pembangunan karakterlah yang membuat Korea Selatan sekarang jauh lebih maju dari In­do­­nesia, walaupun pada tahun 1962 keadaan kedua negara secara ekonomi dan tekno­logi hampir sama. Pembangunan karakterlah yang membuat para pejuang kemerdekaan berha­sil menghantar bangsa Indonesia ke ger­bang kemerdekaannya (Raka, 1997).
Ada apa dengan pendidikan karakter?
Indonesia saat ini sedang menghadapi dua tantangan besar, yaitu desentralisasi atau otonomi daerah yang saat ini sudah dimulai, dan era globalisasi total yang akan terjadi pada tahun 2020. Kedua tantangan tersebut merupakan ujian berat yang harus dilalui dan dipersiapkan oleh seluruh bangsa Indonesia. Kunci sukses dalam menghadapi tantangan berat itu terletak pada kualitas sumberdaya manusia (SDM) Indonesia yang handal dan ber­budaya. Oleh karena itu, peningkatan kualitas SDM sejak dini merupakan hal penting yang harus dipikirkan secara sungguh-sungguh.
Karakter bangsa merupakan aspek penting dari kualitas SDM karena kualitas ka­rak­­ter bangsa menentukan kemajuan suatu bangsa. Karakter yang berkualitas perlu diben­uk dan dibina sejak usia dini. Usia dini merupakan masa kritis bagi pembentukan karakter seseorang. Menurut Freud kegagalan penanaman kepribadian yang baik di usia dini ini akan membentuk pribadi yang bermasalah di masa dewasanya kelak. Kesuksesan orang tua membimbing anaknya dalam mengatasi konflik kepribadian di usia dini sangat menentukan kesuksesan anak dalam kehidupan sosial di masa dewasanya kelak (Erikson, 1968).
Thomas Lickona (1991) – seorang profesor pendidikan dari Cortland University – meng­ungkapkan bahwa ada sepuluh tanda-tanda zaman yang harus diwaspadai karena jika tan­da-tanda ini sudah ada, berarti sebuah bangsa sedang menuju jurang kehancur­an. Tanda-tanda yang dimaksud adalah (1) meningkatnya kekerasan di kalangan remaja, (2) peng­gu­naan bahasa dan kata-kata yang memburuk, (3) pengaruh peer-group yang kuat dalam tin­dak kekerasan, (4) meningkatnya perilaku merusak diri, seperti pengguna­an narkoba, alko­hol dan seks bebas. (5) semakin kaburnya pedoman moral baik dan buruk, (6) menurunnya etos kerja, (7) semakin rendahnya rasa hormat kepada orang tua dan guru, (8) rendahnya rasa tanggung jawab individu dan warga negara, (9) membuda­yanya ketidakjujuran, dan (10) adanya rasa saling curiga dan kebencian di antara sesa­ma. Jika dicermati, ternyata kesepuluh tanda zaman tersebut sudah ada di Indonesia.
Selain sepuluh tanda-tanda zaman tersebut, masalah lain yang tengah dihadapi oleh bangsa Indonesia adalah sistem pendidikan dini yang ada sekarang ini terlalu berori­entasi pada pengembangan otak kiri (kognitif) dan kurang memperhatikan pengem­bangan otak kanan (afektif, empati, dan rasa). Padahal, pengembangan karakter lebih berkaitan dengan optimalisasi fungsi otak kanan. Mata pelajaran yang berkaitan dengan pendidikan karakter pun (seperti budi pekerti dan agama) ternyata pada praktiknya lebih menekankan pada aspek otak kiri (hafalan, atau hanya sekedar “tahu”).
Pada sisi lain, pembentukan karakter harus dilakukan secara sistematis dan ber­kesinambungan yang melibatkan aspek knowledge, feeling, loving, dan acting”. Pemben­tukan karakter dapat diibaratkan sebagai pembentukan seseorang menjadi body builder (binaragawan) yang memerlukan “latihan otot-otot akhlak” secara terus-mener­us agar men­jadi kokoh dan kuat. Sebab, pada dasarnya, anak yang berkarakter rendah adalah anak yang tingkat perkembangan emosi-sosialnya rendah, sehingga anak beresi­ko atau berpo­ten­­si besar mengalami kesulitan dalam belajar, berinteraksi sosial, dan tidak mampu me­ngontrol diri. Mengingat pentingnya penanaman karakter di usia dini dan mengingat usia prasekolah merupakan masa persiapan untuk sekolah yang sesung­guhnya, maka penanam­an karakter yang baik di usia prasekolah merupakan hal yang sangat penting untuk dilaku­kan.
Thomas Lickona (1991) mendefinisikan orang yang berkarakter sebagai sifat alami seseorang dalam merespons situasi secara bermoral, yang dimanifestasikan dalam tindak­an nyata melalui tingkah laku yang baik, jujur, bertanggung jawab, menghormati orang lain dan karakter mulia lainnya. Pengertian ini mirip dengan apa yang diungkap­kan oleh Aristo­teles bahwa karakter itu erat kaitannya dengan habit atau kebiasaan yang terus-menerus dilakukan.
Menurut Berkowitz (1998), kebiasaan berbuat baik tidak selalu menjamin bah­wa manusia yang telah terbiasa tersebut secara sadar (cognition) menghargai penting­nya nilai-nilai karakter (valuing). Misalnya, seseorang yang terbiasa berkata jujur karena takut men­da­patkan hukuman, maka bisa saja ia tidak mengerti akan tingginya nilai mo­ral dari kejujur­an itu sendiri. Oleh karena itu, pendidikan karakter memerlukan juga aspek emosi. Menu­rut Lickona (1991), komponen ini disebut “desiring the good” atau keinginan untuk berbuat baik.
Bagaimana Pendidikan Karakter di Negara Lain?
Hill (2002) menngatakan, “Character determines someone’s private thoughts and someone’s actions done. Good character is the inward motivation to do what is right, accor­ding to the highest standard of behaviour, in every situation”. Pendidikan karakter meng­ajar­kan kebiasaan cara berpikir dan perilaku yang membantu individu untuk hidup dan be­kerja bersama sebagai keluarga, masyarakat, dan bernegara dan membantu mereka untuk membuat keputusan yang dapat dipertanggungjawabkan.
Terkait dengan itu, sebagaimana yang disitir oleh Character Counts! Coalition (a project of The Joseph Institute of Ethics), ada enam pilar pilar kerakter (The Six Pillars of Character) yang dapat  menjadi acuan. Enam pilar  karakter yang dimaksud adalah seba­gai berikut:
a.      Trustworthiness, bentuk karakter yang membuat seseorang menjadi berintegri­tas, jujur, dan loyal
b.      Fairness, bentuk karakter yang membuat seseorang memiliki pemikiran terbuka ser­ta tidak suka memanfaatkan orang lain.
c.       Caring, bentuk karakter yang membuat seseorang memiliki sikap peduli dan perha­tian terhadap orang lain maupun kondisi sosial lingkungan sekitar.
d.      Respect, bentuk karakter yang membuat seseorang selalu menghargai dan meng­ormati orang lain.
e.      Citizenship, bentuk karakter yang membuat seseorang sadar hukum dan peratur­an serta peduli terhadap lingkungan alam.
f.        Responsibility, bentuk karakter yang membuat seseorang bertanggung jawab, disi­plin, dan selalu melakukan sesuatu dengan sebaik mungkin.
Begitu pentingnya pendidikan karakter, di negara-negara lain pendidikan karak­ter menjadi skala prioritas. Sumber yang ada menunjukkan bahwa pendidikan karakter di be­be­rapa negara dimulai sejak pendidikan dasar (elementary school), seperti di Ame­rika Se­rikat, Jepang, Cina, dan Korea. Apakah ada bukti bahwa implementasi pendidikan karakter yang tersusun secara sistematis betul-betul memiliki efek positif dalam penca­paian akade­mis? Jawabannya, “Ya, ada”. Berikut ini ditunjukkan abstrak dari beberapa studi hasil pen­didikan karakter di Amerika dan Cina.
Pemerintah Amerika sangat mendukung program pendidikan karakter yang dite­rapkan sejak pendidikan dasar. Hal ini terlihat pada kebijakan pendidikan tiap-tiap negara bagian yang memberikan porsi cukup besar dalam perancangan dan pelaksanaan pendidik­an karakter. Hal ini bisa terlihat pada banyaknya sumber pendidikan karakter di Amerika yang bisa diperoleh. Sebagian besar program-program dalam kurikulum pendi­dikan karak­ter tersebut menekankan pada experiental study sebagai sarana pengembangan karakter siswa.
The Monk Study, misalnya, dalam penelitian Mr. Doug Monk dari Kingwood Mid­dle School di Humble, Texas, membandingkan evaluasi para guru terhadap siswa sebelum dan sesudah pengimplementasian kurikulum Lessons in Character. Dalam kurikulum yang lebih banyak mengajak siswa untuk berinteraksi dalam kegiatan-kegiatan sosial dan me­ngem­bangkan kepekaan mereka, telah memberikan dampak positif dalam perubahan cara belajar, kepedulian, dan rasa hormat terhadap para staf sekolah, dan meningkatnya keterli­batan para murid secara sukarela dalam proyek-proyek kemanusiaan (Brooks, 2005).
Di negara Cina, dalam program reformasi pendidikan yang diinginkan oleh Deng Xiaoping pada tahun 1985, secara eksplisit diungkapkan tentang pentingnya pendidikan karakter sebagai berikut.
Throughout the reform of the education system, it is imperative to bear in mind that reform is for the fundamental purpose of turning every citizen into a man or woman of character and cultivating more constructive members of society (Li, 2005).
Karena itu, program pendidikan karakter telah menjadi kegiatan yang menonjol di Cina yang dijalankan sejak jenjang prasekolah sampai universitas.
Li Lanqing, seorang politikus dan birokrat Cina yang mempunyai pemahaman yang komprehensif dan mendalam tentang pendidikan menekankan tentang bahayanya sistem pendidikan yang terlalu menekankan hapalan, drilling, dan cara mengajar yang kaku, ter­ma­suk sistem pendidikan yang berorientasi hanya untuk lulus dalam ujian. Sebagai hasil­nya, Cina yang relatif baru bangkit dari keterpurukan ekonomi, sosial, dan budaya akibat Revolusi Kebudayaan yang dijalankan oleh Mao, bisa begitu cepat menge­jar ketertinggalan­nya dan menjadi negara yang maju. Presiden Jiang Zemin sendiri per­nah mengumpulkan semua anggota Politburo khusus untuk membahas bagaimana mengurangi beban pelajaran siswa melalui adopsi sistem pendidikan yang patut secara umur dan menyenangkan, dan pengembangan seluruh aspek dimensi manusia; aspek kognitif (intelektual), karakter, aes­tetika, dan fisik (atletik) (Li, 2005).

Pendidikan sebagai Medium Enkulturasi

Amich Alhumami (Peneliti Sosial, Department of Anthropology University ol Sus­ex, United Kingdom) dalam asya­rakat  adalah suatu kumpulan individu yang memiliki karakteristik khas dengan aneka ragam etnik, ras, budaya, dan agama. Setiap kelompok masyarakat mempunyai pola hidup berlainan, bah­kan orientasi dalam menjalani kehidupan pun tidak sama. Sebagai suatu unit sosial, setiap kelompok masyarakat saling berinteraksi yang memungkinkan terjadinya pertukaran buda­ya. Dalam proses interaksi itu, setiap kelompok masyarakat saling mempelajari, menyerap, dan mengadopsi budaya kelompok masyarakat lain yang kemudian melahirkan sintesis bu­daya baru. Dalam kajian antropologi, ada tiga istilah untuk menjelaskan peristiwa interaksi sosial budaya, yakni sosialisasi, akulturasi, dan enkulturasi. Ketiganya saling terkait, namun masih tetap bisa dibedakan antara satu dan yang lain.
Para ahli antropologi mengemukakanbahwa sosialisasi adalah suatu proses sosial melalui manusia sebagai suatu organisme yang hidup dengan manusia lain mem­bangun suatu jalinan sosial dan berinteraksi satu sama lain, untuk belajar memainkan peran dan menjalankan fungsi, serta mengembangkan relasi sosial di dalam masyarakat. Akulturasi adalah suatu proses perubahan budaya yang lahir melalui relasi sosial antarkelompok masyarakat, yang ditandai oleh pe­nye­­rapan dan pengadopsian suatu kebudayaan baru, yang berkon­sekuensi hilangnya ke­khasan kebudayaan lama. Sementara itu, enkulturasi adalah suatu proses sosial melalui manusia sebagai makhluk yang bernalar, punya daya refleksi dan inteligensia, belajar memahami dan mengadaptasi pola pikir, pengetahuan, dan kebuda­yaan sekelompok manusia lain.
Proses sosialisasi, akulturasi, dan enkulturasi selalu berlangsung secara dinamis. Wahana terbaik dan paling efektif untuk mengembangkan ketiga proses sosial budaya ter­sebut adalah pendidikan yang terlembaga melalui sistem persekolahan. Sekolah me­rupa­kan wahana strategis yang memungkinkan setiap anak didik, dengan latar belakang sosial budaya yang beragam, untuk saling berinteraksi di antara sesama, saling menye­rap nilai-nilai budaya yang berlainan, dan beradaptasi sosial.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sistem persekolahan adalah salah satu pilar penting yang menjadi tiang penyangga sistem sosial yang lebih besar dalam suatu tata­nan kehidupan masyarakat, untuk mewujudkan cita-cita kolektif. Maka, pendi­dikan yang diselenggarakan melalui sistem persekolahan semestinya dimaknai sebagai sebuah strategi kebudayaan, meskipun bukan hanya satu-satunya. Dalam hal ini, pendi­dikan meru­pakan medium transformasi nilai-nilai budaya, penguatan ikatan-ikatan sosi­al antarwarga masyarakat, dan pengembangan ilmu pengetahuan untuk mengukuhkan peradaban umat manusia.
Terkait dengan itu, paling tida ada tiga alasan pokok mengapa pendidikan dipan­dang tepat untuk wahana transformasi nilai-nilai budaya. Pertama, melalui pendi­dikan, ke­mampuan kognitif dan daya intelektual individu dapat ditumbuhkembangkan dengan baik. Kemampuan kognitif dan daya intelektual ini sangat penting bagi individu untuk mengenali dan memahami konsep kebudayaan suatu masyarakat yang demikian beragam, unik, dan bersifat partikular. Pengenalan dan pemahaman itu diharapkan da­pat menumbuhkan apre­siasi terhadap perbedaan budaya yang ada dalam masyarakat.
Instrumen yang relevan untuk menumbuhkan apresiasi atas keanekaragaman bu­daya, antara lain melalui mata pelajaran kesusastraan dan kesenian. Sebab, keduanya me­re­fleksikan dinamika kebudayaan dan menggambarkan kekayaan khazanah budaya dan aneka jenis kesenian di Nusantara. Di sekolah, semua siswa dapat mempelajari kesusas­teraan Melayu, kesusasteraan Jawa, kesusasteraan Bugis-Makassar, atau kesu­sasteraan daerah lain . Mereka juga dapat mempelajari kesenian Aceh, kesenian Mi­nang­kabau, kese­nian Sunda, atau kesenian daerah lain. Dengan mempelajari kesusas­teraan dan kesenian lintas etnik dan multikultur itu diharapkan dapat tumbuh kesadaran kolektif sebagai sesa­ma anak bangsa, meskipun mereka mempunyai latar belakang et­nik, budaya, dan agama yang berbeda, sehingga pada akhirnya akan memperkuat kohesi sosial dan integrasi na­sional.
Kedua, melalui sistem persekolahan setiap anak dikenalkan sejak dini mengenai pentingnya membangun tatanan hidup bermasyarakat, yang di dalamnya terdapat ber­ba­gai macam entitas sosial. Sekolah adalah miniatur masyarakat, karena di dalamnya ada struktur, status, fungsi, peran, norma, dan nilai. Sekolah menjadi sarana bagi setiap anak didik untuk belajar memainkan peran dan menjalankan fungsi menurut posisi dan status di dalam struktur sekolah itu. Dalam menjalankan peran dan fungsi, setiap anak didik juga di­ajarkan mengenai makna tanggung jawab sosial.
Dalam konteks ini, mata pelajaran yang relevan antara lain pendidikan kewar­gaan (civic education). Dengan pendidikan kevvargaan setiap anak didik dibekali penge­tahuan dan pemahaman bagaimana menjadi warga negara yang baik. Dalam filsafat pendidikan klasik dikemukakan bahwa “the ultimate goal of education is how to fn-cilitnte students to be a good citizens” Di dalam sistem persekolahan, pendidikan meru­pakan aspek yang sa­ngat penting untuk bersosialisasi dan sekaligus menjadi sarana proses transmisi norma-norma dan nilai-nilai budaya di dalam masyarakat. Pendidikan juga dapat menumbuhkan inovasi kebudayaan, karena sekolah dapat menstimulasi intellectual inquiry dan menum­buh­kan critical thinking yang menjadi basis bagi pengembangan gagasan-gagasan baru. Dalam suasana persekolah­an yang demikian, kebudayaan suatu masyarakat dapat berkembang dinamis.
Ketiga, pendidikan merupakan wahana paling efektif untuk memperkuat inte­grasi sosial politik. Para penganut paham struktural-fungsionalis meyakini bahwa melalui proses sosialisasi dan enkulturasi, pendidikan memberi kontribusi besar terhadap upaya merawat stabilitas sosial dan konsensus politik. Di dalam sistem persekolahan, pendi­dikan dapat me­rangsang tumbuhnya kesadaran sosial di kalangan anak didik. Mereka adalah bagian inte­gral sebagai warga bangsa dengan latar belakang sosial budaya yang berlainan. Di Indonesia, sa­rana paling efektif untuk memper­kuat integrasi sosial politik adalah, antara lain, melalui mata pelajaran bahasa Indonesia. Penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional merupakan warisan paling ber­harga dari para tokoh pergerakan nasional, seperti Boedi Oetomo pada zaman sebelum kemerdekaan. Karena kesadaran menjaga integrasi sosial politik itulah, maka pada Kong­res Pemuda para pelo­por gerakan nasional yang kebanyakan berasal dari suku Jawa, justru lebih memilih ba­hasa Indonesia (yang berinduk dari Bahasa Melayu), dan bukan bahasa Jawa, sebagai bahasa nasional.
Alasan-alasan yang dikemukakan tersebut sesungguhnya sejalan dengan pan­dang­an dan pemikiran para filosof sosial klasik, seperti Emile Durkheim, Jean Jacques Rousseau, Johann Pesta-lozzi, atau John Dewey. Para pemikir klasik itu bahkan menulis khusus me­nge­nai tema-tema penting di bidang pendidikan, yang kemudian menjadi rujukan standar bagi para pemikir generasi selanjutnya. Tema-tema penting itu, antara lain, mengenai pen­didikan moral, pendidikan dan tanggung jawab sosial, pendidikan dan demokrasi, pendidik­an dan pembangunan masyarakat berpengetahuan. Para pemikir klasik itu pada dasarnya meyakini bahwa pendidikan merupakan bentuk strategi kebu­dayaan yang paling efektif untuk membangun tatanan sosial dari mewujudkan masya­rakat yang baik serta memba­ngun peradaban umat manusia selaras dengan cita-cita kemanusiaan paling asasi.
Peranan Guru dalam Pendidikan Karakter
Guru adalah profesi yang mulia, mendidik dan mengajarkan pengalaman baru bagi anak didiknya. Apa yang membuat guru dikatakan hebat? Kualitas apa yang diha­rapkan pa­da diri seorang guru menurut orang tua dan siswa? Berikut adalah beberapa tips bagaima­na menjadi guru berkarakter yang hebat.
  1. Mencintai anak. Cinta yang tulus kepada anak adalah modal awal mendidik anak. Guru menerima anak didiknya apa adanya, mencintainya tanpa syarat dan mendo­rong anak untuk melakukan yang terbaik pada dirinya. Penampilan yang penuh cin­a adalah dengan senyum, sering tanpak bahagia dan menyenangkan dan pandangan hidupnya positif.
  2. Bersahabat dengan anak dan menjadi teladan bagi anak. Guru harus bisa digugu dan ditiru oleh anak. Oleh karena itu, setiap apa yang diucapkan di hadapan anak harus benar dari sisi apa saja: keilmuan, moral, agama, budaya. Cara penyampaian­nya pun harus “menyenangkan” dan beradab. Ia pun harus bersahabat dengan anak-anak tanpa ada rasa kikuk, lebih-lebih angkuh. Anak senantiasa mengamati perilaku gurunya dalam setiap kesempatan.
  3. Mencintai  pekerjaan guru. Guru yang mencintai pekerjaannya akan senantiasa bersemangat. Setiap tahun ajaran baru adalah dimulainya satu kebahagiaan dan satu tantangan baru. Guru yang hebat tidak akan merasa bosan dan terbebani. Gu­ru yang hebat akan mencintai anak didiknya satu persatu, memahami kemam­puan akademisnya, kepribadiannya, kebiasannya dan kebiasaan belajarnya.
  4. Luwes dan mudah berdaptasi dengan perubahan. Guru harus terbuka dengan tek­nik mengajar baru, membuang rasa sombong dan selalu mencari ilmu. Ketika masuk ke kelas, guru harus dengan pikiran terbuka dan tidak ragu mengevaluasi gaya meng­ajarnya sendiri, dan siap berubah jika diperlukan.
  5. Tidak pernah berhenti belajar. Dalam rangka meningkatkan profesionaitasnya, gu­ru harus selalu belajar dan belajar. Kebiasaan membaca buku sesuai dengan bidang studinya dan mengakses informasi aktual tidak boleh ditinggalkan.  
Apabila ciri-ciri tersebut dimiliki oleh guru – alih-alih disebut sebagai guru yang berkarakter, tentu keresahan di dunia pendidikan tidak akan terjadi.  Keresahan yang yang paling menonjol akhir-akhir ini adalah kekerasan guru terhadap siswa. Sekedar contoh, yang masih di ingatan kita, adalah kasus seorang guru yang menendang siswa­nya hingga gegar otak, kasus seorang guru yang memukuli satu per satu siswanya yang terlambat ma­suk kelas, dan kasus seorang guru yang menampar pipi siswanya hingga membiru hanya kerana tidak mengumulkan PR.  Mengapa demikian? Beban tugas guru yang berat, kesejah­teraan yang belum baik, dan rendahnya "kecerdasan" emosional  merupakan salah satu se­bab mengapa guru bisa berbuat khilaf dengan jalan menebar­kan aroma kekerasan di dalam kelas. Pada sisi lain, pengaruh gaya hidup TV, rendahnya perhatian orangtua terhadap kela­kuan dan sopan santun anaknya, perilaku konsumtifis­me, narkoba, minuman keras, dan pe­ri­laku ”ngoboy” lainnya, merupakan sederetan sebab mengapa para siswa zaman seka­rang juga susah di atur. Dua sisi yang sangat ekstrem dari si guru dan siswa tersebut jika berte­mu, tentu akan terjadi ketidakharmo­nis­an, bahkan benturan yang tidak menyedapkan.
Singkatnya banyak siswa yang stres dan mencoba bunuh diri, sementara yang lain mencoba membakar dan merusak gedung sekolahnya, ketika tidak lulus ujian. Tampak bah­wa dunia pendidikan di tanah air seakan tidak ramah terhadap perasaan dan nurani para siswa. Salah satu tujuan diselenggarakannya pendidikan sebagai sarana pemerdekaan dan pembebasan, hanya akan berada di “awang-awang”.
Pendidikan akhirnya hanya menghasilkan manusia cerdas namun seperti robot di satu sisi, dan manusia stres pada sisi lain. Sistem ranking, sistem penilaian, kebijakan yang tidak pernah konsisten, sistem dan proses pembelajaran yang monoton searah dan instruk­tif dari guru, menyebabkan anak-anak merasa tidak lagi "at home" di sekolahnya.
Stres itu belum usai, di rumah sudah menanti ”monster” yang bernama ambisi orang tua. Di teras sudah menunggu guru les, ada les bahasa Inggris, piano, matematika, tari, dst, dengan setumpuk buku dan latihan soal yang membosankan.
Benar kata Wapres bahwa untuk bisa menjadi bangsa yang maju harus ada kerja keras. Namun pertanyaannya, apakah sekolah dan sistem ujian sekarang ini sudah menun­jukkan ke arah usaha kerja keras yang sesungguhnya? Sikap kerja keras tidak bisa dijalani dengan cara meniadakan rasa bahagia anak. Kerja keras bukan sekadar mengha­fal ratusan definisi dan latihan soal ala LKS (Lembar Kerja Siswa), namun juga melibatkan kecerdasan emosi anak.
Apa pun keadaanya, pembinaan kecerdasan emosi perlu dilakukan oleh guru. Se­bab, pembinaan kecerdasan emosi dilakukan dalam rangka atara lain untuk tiga hal berikut.
(1)     Menemukan pribadi, yakni guru memfasilitasi siswa untuk mengenali kekuatan dan kelemahan dirinya sendiri. Siswa menerimanya secara positif dan dinamis dalam rang­ka pengembangan dirinya lebih lanjut.
(2)     Mengenal lingkungan, yakni guru memfasilitasi siswa agar mengenal lingkungan­nya seperti lingkungan sosial, ekonomi, budaya, dan sebagainya, dan menerima sebagai berbagai kondisi lingkungan itu secara positif dan dinamis.
(3)     Merencanakan masa depan, yakni guru memfasilitasi siswa agar mereka dapat me­rencanakan masa depannya.
Menurut Carl Witherington, ada empat hal yang harus diketahui guru untuk me­nge­tahui emosi siswanya, yaitu:
(a)      aspek emosi yang terlihat oleh mata seperti gemetar, takut sehingga matanya ter­be­lalak, menggeretakkan gigi untuk mengekspresikan rasa marah dan seba­gainya;
(b)      emosi yang ditunjukkan oleh sikap kurang senang, senang, benci;
(c)      ungkapan-ungkapan atau umpatan dari siswa; dan
(d)      kecenderungan emosi yang bersifat kualitatif, misalnya dirangsang oleh individu lain hingga timbul rasa senang, benci, jijik, malu, marah, dan sebagainya.
Pada umum­nya, anak-anak dari golongan ekonomi lemahlah yang mudah tersulut emosi­nya, meskipun anak dari keluarga mampu, juga memperlihatkan gejala serupa.
Anak-anak dari golongan ekonomi lemah akhirnya harus putus di tengah jalan, atau "layu sebelum berkembang". Hasil penelitian Silverstein dan Krate di lingkungan "ghetto" (dalam Megawangi, 1993) juga menunjukkan bahwa anak-anak dari golongan ekonomi lemah harus rela mendapatkan lingkungan sekolah yang jelek. Demikian pula lingkungan tempat tinggal yang kumuh menyebabkan mereka memiliki sifat ambivalen, terlalu cepat dewasa (precocious independent), pasrah (submissive), kurang perca­ya diri, dan penghargaan pada diri rendah (low self esteem).
Hasil penelitian di Amerika Serikat yang dilakukan oleh Goldens dan Birns (da­lam Megawangi, 1993) menunjukkan bahwa hasil tes IQ dari berbagai kelompok strata sosial ekonomi anak usia di bawah dua tahun tidak ada perbedaan yang berarti. Anak dari keluar­ga ekonomi lemah memiliki potensi yang relatif sama dengan anak dari go­long­an ekonomi mampu.
Data lain menunjukkan bahwa siswa-siswa di kota-kota besar sangat rawan terha­dap penga­ruh lingkungan yang buruk. Hal inilah yang menyulitkan guru-guru di kota-kota besar untuk mendidik siswanya. Ivan Illich atau Paulo Freire pernah mengkritik bahwa se­ko­lah formal itu milik kaum pemodal dan tidak berpihak kepada kaum papa. Sekolah formal pada akhirnya hanya alat legitimasi untuk melanggengkan kekuasaan dengan jalan men­ciptakan kelas-kelas sosial. Bahkan, Freire menyebut sebagai kekuatan untuk melang­geng­kan "kebudayaan bisu".
Terkait dengan itu Betrand Russell (1993) mengatakan bahwa mestinya pendi­dik­an itu lebih mempertimbangkan hubungan komunitas daripada hubungan individu, meski­pun tujuan pendidikan untuk membudayakan individu agar kapasitasnya berkem­bang mak­simal. Randall Collins dalam "The Credential Society: An Historical Sociology of Educa­tion and Stratification" juga mengatakan bahwa bukti-bukti empiris menunjukkan bahwa pendi­dikan formal merupakan awal dari proses stratifikasi sosial.
Sketsa singkat di atas rasanya pantas untuk dijadikan renungan para penentu kebi­jakan pendidikan agar di masa depan generasi muda Indonesia mendapatkan sistem pendi­dikan yang tidak saja mampu meningkatkan kecerdasan hidup, namun juga mam­pu mem­berikan bekal keterampilan hidup, pandangan hidup, dan nilai-nilai kehidupan yang merangsang kecerdasan emosi dan spiritualnya. Bangsa ini tidak ingin lagi mende­ngar ada siswa bunuh diri gara-gara tidak lulus ujian atau tidak dapat membayar SPP. 
Pustaka Acuan
Brooks, D. 2005. Increasing Test Score and Character Education The Natural Connect­ion, http://www.youngpeoplespress.com/Testpaper.pdf.
Elias, J. L. 1989. Moral education: secular and religious. Florida: obert E. Krieger Pu­blish­ing Co., Inc.
Hill, T.A. 2005. Character First! Kimray Inc., http://www.charactercities.org/­downloads/­publications/Whatischaracter.pdf.
Koesoema A, Doni. 2007. Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik Anak di Zaman Mo­dern. Jakarta: PT Grasindo
Li, Lanqing. 2005. Education for 1.3 Billion. Pearson Education and China: Foreign Language Teach­ing & Research Press.
Lickona, Thomas.  1991. Educating for Character: How Our Schools Can Teach Respect and Responsibility. New York: Bantam Books.
­­­­­­­­______________. 1987. Character development in the family.Dalam Ryan, K. & McLean, G.F. Character Development in Schools and Beyond. New York: Praeger.
Megawangi, Ratna. 2003. Pendidikan Karakter untuk Membangun Masyarakat Mada­ni. IPPK Indonesia Heritage Foundation.
______________. 2007. Pendidikan Karakter. Cimanggis: Indonesia Heritage Founda­tion.
Raka, Gedhe. 1997. “Pendidikan Membangun Karakter.” Bandung. Makalah Tidak dipubli­ka­sikan.

1 komentar:

  1. bagaimana pak masnur dengan softskill? apakah ini juga masuk dalam wilayah pendidikan karakter. Intinya bagaimana siswa pandai membawa diri, mengusai diri dan pandai menempatkan diri, inilah yangg disebut dengan kemandirian tidak hanya berfikir, namun juga kemandirian dalam berperilaku, berinteraksi maupun bermunahajat.
    Apakah memang isu softskill kini tenggelam oleh pendidiklan karakter atau memang pemdidikan karakter merupakan lanjutan dari softsikll?

    BalasHapus